RINGKASAN EKSKUSIF PENELITIAN TESIS
PERLINDUNGAN HUKUM
TERHADAP TRADITIONAL
KNOWLEDGE DI MADURA
(Studi Perlindungan Ramuan Asli Madura)
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sistem IPR (Intellectual Property Rights) yang telah
dibangun oleh negara-negara maju dan menjadi perjanjian internasional melalui Agreement on Trade-Related Aspects of
Intellectual Property Rights (TRIPs
Agreement) yang merupakan Annex
1C dari Ageement Establishing The World
Trade Organizations (WTO) ternyata telah melahirkan beberapa pertentangan
kepentingan antara negara-negara maju yang menguasai science and technology and capital dengan negara-negara berkembang
terkait dengan pemberian perlindungan terhadap Traditional Knowledge.
Pertentangan
kepentingan tersebut terjadi karena disatu sisi sistem IPR melindungi terhadap
invensi negara-negara maju yang bersumber dari
obat tradisional. Akan tetapi di sisi lain, sistem IPR tidak melindungi
terhadap obat tradisional yang banyak
terdapat di negara-negara berkembang.
Bangsa Indonesia
yang kaya akan TK bidang obat tradisional sebagai warisan budaya dan menjadi
indentitas masyarakat lokal telah banyak dieksploitasi secara komersial dan
diklaim sebagai hasil intellectual
property dari negara-negara maju, di antaranya adalah :
1.
Dari 45 jenis obat penting yang terdapat di Amerika
Serikat berasal dari tumbuh-tumbuhan, dan 14 jenis di antaranya berasal dari
Indonesia, seperti tumbuhan “tapak dara” yang berfungsi sebagai obat kanker.[1]
2.
Banyak pemberian hak paten di Jepang atas obat-obatan
yang bahan bakunya bersumber dari biodiversity
dan TK Indonesia dan hasil kompilasi berjumlah 41 paten.[2]
3.
36 Paten yang didaftarkan oleh perusahaan Kosmetika dan
Farmasi Jepang di Kantor Paten Eropa adalah berasal dari sumber daya hayati (genetic resources) dan TK masyarakat
Indonesia.[3]
Di antara salah
satu suku yang mempunyai beberapa TK yang merupakan bagian dari obat tradisonal adalah suku Madura. Bagi masyarakat
Madura, obat tradisonal yang bersumber
dari TK tersebut dikenal dengan istilah Ramuan Asli Madura. Jadi, konsep Ramuan
Asli Madura ini sama dengan obat tradisonal. Ramuan Asli Madura merupakan bagian
dari TK bidang keanekaragamaan hayati (biological
diversity) yang terkait dengan obat tradisional. Dengan demikian, Ramuan
Asli Madura juga merupakan hasil kreativitas intelektual masyarakat Madura
dengan kepemilikan secara bersama-sama oleh segenap anggota masyarakat Madura,
tidak ada klaim individu dan dipraktikkan secara turun temurun dari satu
generasi ke generasi dan telah menjadi identitas budaya bagi masyarakat Madura.
Dengan adanya
eksistensi Ramuan Asli Madura tersebut, maka perlu dilakukan upaya perlindungan
hukum melalui sistem paten bagi masyarakat Madura sebagai pemilik Ramuan Asli Madura
dan harus dilakukan upaya oleh semua Pemerintah Daerah yang terdapat di pulau Madura.
Perlindungan
hukum bagi Ramuan Asli Madura yang banyak terdapat di pulau Madura ini
didasarkan oleh kewenangan yang bersifat pilihan yang dimiliki oleh Pemerintah
Daerah di Madura sebagai daerah otonom sebagaimana yang diatur di dalam
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah (yang untuk
selanjutnya disingkat UU Pemda). Di dalam UU Pemda ini terdapat urusan yang
menjadi wewenang pemerintah daerah kabupaten/kota yang bersifat pilihan, yaitu
di dalam 14 ayat (2) UU Pemda, yang berbunyi :
“Urusan
pemerintahan kabupaten/kota yang bersifat pilihan meliputi urusan pemerintahan
yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang
bersangkutan”.
B. Perumusan Masalah
1. Bagaimanakah
sistem paten memberikan perlindungan hukum terhadap TK, khususnya di bidang Ramuan Asli Madura ?
2. Bagaimanakah
upaya yang dapat dilakukan oleh Pemerintah Daerah di Madura dalam melindungi TK
di bidang Ramuan Asli Madura ?
C. Tujuan Penelitian
1.
Untuk melakukan analisis konseptual yuridis terhadap
sistem paten bagi perlindungan hukum terhadap TK, khususnya di bidang Ramuan Asli Madura.
2.
Untuk melakukan analisis terhadap upaya yang dapat
dilakukan oleh Pemerintah Daerah di Madura dalam melindungi TK di bidang Ramuan
Asli Madura.
D. Metode Penelitian
1.
Pendekatan Masalah
2.
Spesifikasi Penelitian
Melihat
permasalahan di atas, maka spesifikasi yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah
deskriptif analitis[5].
3.
Jenis dan Sumber Data
a. Data Primer
Data primer adalah data yang diperoleh
dan bersumber langsung dari masyarakat yang termasuk sampel dalam penelitian
ini dan merupakan hasil dari analisis yang dilakukan sendiri[6].
b. Data Sekunder
Adapun yang dimaksud dengan data
sekunder ini adalah data yang yang diperoleh dari bahan-bahan pustaka. Di dalam
data sekunder ini terdiri dari tiga bahan hukum, yaitu[7] :
1)
Bahan Hukum Primer
Bahan hukum
primer ini diperoleh dari beberapa perjanjian Internasional dan peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan hukum terhadap TK bidang obat
tradisional, di antaranya Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual
Property Rights 1994 dan Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 2001 Tentang Paten serta beberapa perjanjian internasional dan
peraturan perundang-undangan lainnya yang terkait dengan penelitian ini.
2)
Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum
sekunder ini memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer yang berasal
dari beberapa literatur dan tulisan ilmiah lainnya yang dapat menjelaskan terhadap
permasalahan penelitian ini.
3)
Bahan Hukum Tersier
Sedangkan yang
dimaksud dengan bahan hukum tersier adalah bahan yang memberika penjelasan
maupun petunjuk terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang dapat
berasal dari kamus hukum, ensiklopedia dan sebagainya.
4.
Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan
data yang digunakan adalah Penelitian Kepustakaan dan Dokumentasi (library
and documentation research) dan Penelitian Lapangan (field research)
5.
Populasi dan Sampling
Populasi adalah
seluruh objek, seluruh gejala, seluruh unit yang akan diteliti dalam penelitian
ini. Oleh karena populasi itu sangat besar dan sangat luas dan tidak
memungkinkan untuk diteliti secara keseluruhan, sehingga populasi tersebut
hanya cukup diambil sebagian saja untuk diteliti sebagai sampel untuk memberikan
gambaran yang tepat dan benar dalam penelitian ini[8].
Pengambilan
sampel dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan teknik Non Random
Sampling dengan metode Purposive Sampling, yaitu penarikan sampel
yang dilakukan dengan cara memilih atau mengambil subjek-subjek yang didasarkan
pada beberapa tujuan dalam penelitian ini.[9]
Adapun beberapa responden
yang ditentukan sebagai sampel dalam penelitian ini adalah terdiri dari :
a.
Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur di Surabaya.
b.
Kepala Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan di Surabaya.
c.
Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan di empat Kabupaten
di Madura.
d.
Para Peramu dan Pemilik Perusahaan Ramuan Asli Madura di
empat Kabupaten di Madura sebanyak 12 orang.
6.
Metode Analisis Data
Di dalam
penelitian ini tidak hanya akan menganalisis terhadap data sekunder, tetapi
juga akan menganalisis terhadap data primer yang akan dikumpulkan dari hasil
penelitian lapangan (field research). Atas dasar inilah, maka dalam
penelitian ini akan dilakukan metode analisis data secara kualitatif empiris.
PEMBAHASAN
A. PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP RAMUAN
ASLI MADURA MELALUI SISTEM PATEN
1.
Konsep Ramuan Asli Madura
Di dalam beberapa
regulasi terdapat istilah ”Jamu” dan”obat tradisional”. Dalam Pasal 1 angka 2
Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan RI Nomor : HK.00.05.41.1384
tentang Kriteria dan Tata Laksana Pendaftaran Obat Tradisional, Obat Herbal
Berstandar dan Fitofarmaka (Peraturan Kepala BPOM tentang Kriteria dan Tata
Laksana Pendaftaran) disebutkan bahwa yang dimaksud ”Jamu adalah Obat
Tradisional Indonesia”. Sedangkan yang dimaksud dengan ”Obat Tradisional”
menurut Pasal 1 angka 1 Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor :
246/Menkes/Per/V/1990 tentang Izin Usaha Industri Obat Tradisional dan
Pendaftaran Obat Tradisional (Permenkes tentang Izin Usaha dan Pendaftaran Obat
Tradisional), yaitu :
”Obat tradisional
adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan
mineral, sediaan galenik atau campuran dari bahan-bahan tersebut, yang secara
tradisional telah digunakan untuk pengobatan berdasarkan pengalaman”.
Berdasarkan
pengertian di atas, Istilah ”obat tradisional” ini merujuk pada dua unsur,
yaitu bahan dan ramuan bahan. Dengan demikian, penggunaan istilah ”obat
tradisional” ini lebih luas dari istilah ”ramuan” sebagaimana yang digunakan
dalam istilah Ramuan Asli Madura. Obat tradisional merujuk pada bahan atau
ramuan bahan, sedangkan Ramuan Asli Madura hanya merujuk pada ramuan bahan saja
yang berasal dari tumbuh-tumbuhan sebagai hasil kreativitas intelektual
masyarakat lokal di Madura. Atas dasar inilah, maka di dalam penelitian ini
digunakan istilah Ramuan Asli Madura. Hal ini dimaksudkan untuk lebih
mengkhususkan terhadap hasil kreativitas intelektual masyarakat lokal di Madura
yang berupa metode ramuan saja dari bahan tumbuhan sebagai bagian dari TK
bidang obat tradisional.
Definisi yuridis
dari Ramuan Asli Madura ini sesuai dengan produk Ramuan Asli Madura yang dibuat
oleh masyarakat Madura. Dengan demikian, Ramuan Asli Madura dapat diartikan
sebagai hasil kreativitas intelektual masyarakat Madura berupa metode ramuan
dengan formula[10] serta
komposisi[11] dari bahan
tumbuhan sehingga dapat mengandung khasiat khusus bagi praktik pengobatan yang
diperoleh secara turun temurun berdasarkan pengalaman. Hal ini berarti bahwa
konsep dasar yang terkandung dalam Ramuan Asli Madura ini adalah adanya ramuan,
komposisi dan formula atas obat tradisional yang dihasilkan dari kreativitas
intelektual masyarakat Madura. Adapun bahan bakunya tidak hanya berasal dari
Madura, tetapi merupakan hasil campuran dengan bahan baku yang berasal dari
luar Madura.
2. Beberapa Jenis Ramuan Asli Madura
Di antara
beberapa nama jenis Ramuan Asli Madura yang terdapat pada keempat Kebuapaten di
Madura tersebut yang dapat diidentifikasi adalah sebagaimana tampak dalam tabel
berikut :
Tabel 5
Daftar Nama
Beberapa Jenis Ramuan Asli Madura
No
|
Nama Jenis
Ramuan Asli Madura
|
No
|
Nama Jenis
Ramuan Asli Madura
|
1
|
Ma’jun Raja
|
12
|
Penyubur Kandungan
|
2
|
Sehat Pria/Perkasa
|
13
|
Galian Wanita
|
3
|
Jantala/Tahan Lama
|
14
|
Galian Patmosari
|
4
|
Galian Rapet
|
15
|
Spesial Keputihan
|
5
|
Dalima (Keputihan)
|
16
|
Kunir Putih & Temu Putih
|
6
|
Galian Sehat (Montok)
|
17
|
Asam Urat & Kolesterol
|
7
|
Pegal Linu
|
18
|
Legit Madura
(Cempaka Putih)
|
8
|
Selokarang
|
19
|
Kecantikan
|
9
|
Harumita (Empot Super)
|
20
|
Sumirat
|
10
|
Galian Singset (Susut Perut)
|
21
|
Jamu Maag
|
11
|
Remaja Puteri
|
22
|
Bangkes
|
Sumber
:
|
Data diperoleh dari hasil
wawancara dengan Para Pemilik Perusahaan Ramuan Asli Madura di Madura (2009).
|
Selain dari
beberapa jenis Ramuan Madura di atas, masih banyak terdapat beberapa jenis Ramuan
Madura lagi, tetapi dengan komposisi bahan dan khasiat yang merupakan derivasi
atau variasi di antara beberapa jenis Ramuan Asli Madura di atas.
3. Bahan Baku Dalam Ramuan Asli Madura
Ramuan Asli Madura
merupakan hasil kreativitas intelektual masyarakat Madura yang berupa ramuan
bahan obat tradisional, dimana bahan bakunya tidak hanya berasal dari Madura,
tetapi juga berasal dari luar Madura, seperti jawa, sumatera, kalimantan bahkan
juga ada yang dari luar negeri seperti India[12]
dan Thailand[13]. Dengan demikian, bahan
baku dari Ramuan Asli Madura tidak semuanya dari Madura, tetapi juga berasal
dari luar Madura.
Berdasarkan hasil
wawancara dengan beberapa peramu Ramuan Asli Madura yang terdapat di keempat
Kabupaten di Madura diketahui bahwa sebagian besar atau pada umumnya bahan baku
yang dipergunakan dalam pembuatan Ramuan Asli Madura adalah 50% dari Madura dan
50% berasal dari luar Madura. Di antara beberapa bahan baku yang banyak diambil
dari Madura adalah temu ireng (curcuma
aeruginosa roxb.), temu lawak (curcuma
xanthorrhiza roxb.), jahe (zingiber
officinale, rose), kencur (kaempfeteria
galanga), lempuyang (zingiber aromaticum),
bangle (zingiber purpureum),
sambiloto (andrographis paniculata), laos
(galangae rhizoma), kunir (Curcuma domestica R), kunyit (curcuma domestica val.), kunci (boesenbergia pandurata), daun sirih (piperis folium), pinang (areca semen), cabe jamu (piper retrofractum, vahl.).
Bahan baku Ramuan
Asli Madura yang berasal dari Madura biasanya langsung dibeli dari petani atau
juga ada yang diantarkan ke tempat produksi. Sedangkan bahan baku yang berasal
dari jawa banyak yang dibeli dari Toko Bahan Baku Jamu yang banyak terdapat di
Madura dan Surabaya. Adapun bahan baku yang berasal dari luar negeri biasanya
dibeli melalui pesanan.
4. Proses Pembuatan Ramuan Asli Madura
Pada umumnya
proses pembuatan Ramuan Asli Madura ini dilakukan dengan cara yang sama, hanya
saja pada proses akhirnya yang berbeda tergantung pada bentuk sediaannya yang
akan dibuat. Adapun proses pembuatan dari semua jenis Ramuan Asli
Madura itu adalah diawali dengan masing-masing bahan dicuci secara
sendiri-sendiri. Kemudian semua bahan baku tersebut dijemur sampai kering.
Setelah itu disangrai dan dicampur menjadi satu. Campuran bahan tersebut
kemudian digiling. Setelah itu ada yang disangrai ulang dan diayak untuk
menghasilkan bubuk yang semakin halus. Setelah itu pada proses terakhir, bubuk
itu dibuat sesuai dengan bentuk sediaan yang akan dipasarkan.[14]
Pembuatan bentuk
sediaan dari produk ramuan asli Madura ini didasarkan pada dua hal : pertama,
bagi Ramuan Asli Madura yang telah mempunyai izin produksi yang berupa Izin
Usaha IKOT (Industri Kecil Obat Tradisional) dari Kepala Dinas Kesehatan
Provinsi Jawa Timur dan Izin Edar (TR/Traditional)
dari Kepala BPOM RI (Badan Pengawas Obat dan Makanan), maka bentuk sediaan dari
produk ramuan asli Madura ini sesuai dengan izin produksi dan izin edar
tersebut. Sedangkan yang kedua, bagi Ramuan Asli Madura yang tidak memiliki
kedua izin tersebut, maka bentuk sediaan dari produk Ramuan Asli Madura ini
didasarkan pada kemauan pasar atau konsumen.
Adapun bentuk
sediaan dari produk ramuan asli Madura ini berdasarkan hasil penelitian di
lapangan terdapat beberapa macam, di antaranya dalam bentuk Serbuk,
pil/plintiran, kapsul, jenang, dodol, rajangan, parem, pilis, dan tapel.
5. Konsep Ramuan Asli Madura Dalam Sistem Paten
Ramuan Asli
Madura merupakan kreativitas intelektual masyarakat lokal di Madura yang berupa
metode ramuan dengan formula dan komposisi bahan yang berupa tumbuh-tumbuhan
sehingga memiliki khasiat khusus dalam praktik pengobatan. Proses pembuatan
Ramuan Asli Madura tersebut telah sesuai dengan standar persyaratan obat
tradisional di Indonesia melalui pemeriksaan Dokumen CPOTB serta Dokumen Mutu
dan Teknologi sehingga bisa mendapatkan Izin Usaha IKOT dari Kepala Dinas
Kesehatan Provinsi Jawa Timur dan Izin Edar dari Kepala BPOM.
Berdasarkan hal
tersebut, Ramuan Asli Madura dapat dikonsepsikan sebagai paten produk maupun
paten proses. Konsepsi Ramuan Asli Madura sebagai paten produk maupun sebagai
paten proses tersebut didasarkan pada alasan berikut :
1.
Alasan bahwa Ramuan Asli Madura dapat dikonsepsikan
sebagai paten produk karena Ramuan Asli Madura ini merupakan produk yang
dihasilkan dengan proses (product by
proses) yang di dalamnya juga mencakup formula dan komposisi dari tumbuhan
yang mengandung khasiat untuk praktik pengobatan. Di samping itu juga,
karena produk Ramuan Asli Madura dapat
dibuat secara berulang-ulang (dalam jumlah yang banyak) dengan kualitas yang
sama.
2.
Alasan bahwa Ramuan Asli Madura dikonsepsikan sebagai
paten proses karena Ramuan Asli Madura terdapat proses dan metode pembuatan
mulai tahap pembersihan bahan baku sampai menjadi bentuk sediaan serta juga
berisikan tentang penggunaan dari Ramuan Asli Madura tersebut. Di samping itu,
karena proses pembuatan, metode pembuatan serta penggunaan dari Ramuan Asli
Madura tersebut dapat dijalankan dalam kegiatan praktik.
Konsepsi Ramuan
Asli Madura sebagai paten produk maupun sebagai paten proses ini didasarkan
pada konsep dari bentuk paten sebagaimana terdapat di dalam UU Paten, yaitu
bahwa yang dimaksud dengan paten produk adalah mencakup alat, mesin, komposisi,
formula, product by process, dan
sistem. Sedangkan yang dimaksud dengan paten proses adalah mencakup proses, metode
dan penggunaan[15]Jika paten itu dimaksudkan
sebagai produk, maka produk itu harus mampu dibuat secara berulang-ulang
(secara massal) dengan kualitas yang sama. Jika suatu petan itu dimaksudkan
sebagai proses, maka proses itu harus mampu dijalankan atau digunakan dalam
praktik[16].
Untuk melihat
apakah Ramuan Asli Madura itu dilindungi dari segi produknya atau prosesnya
adalah dapat dilihat pada klaim[17]
sebagaimana diuraikan dalam Deskripsi Paten. begitupun juga, lingkup
perlindungan hukumnya juga didasarkan pada klaim produk maupun pada klaim
prosesnya.
Meskipun Ramuan
Asli Madura dapat dikonsepsikan sebagai paten produk maupun sebagai paten
proses, akan tetapi Ramuan Asli Madura tersebut tidak dapat dilindungi dengan
paten sederhana. Hal ini didasarkan pada ketentuan yang terdapat dalam UU
Paten, yaitu :
1.
Dengan diberlakukannya UU Paten yang baru, paten proses
sudah tidak lagi dapat dilindungi dengan paten sederhana. Berbeda dengan UU
Paten lama yang memperbolehkan paten proses dilindungi dengan paten sederhana.
2.
Bersadarkan angka 1 huruf b Penjelasan Umum UU Paten dikatakan bahwa proses, penggunaan,
komposisi, dan produk yang merupakan product
by process tidak bisa diberikan perlindungan melalui paten sederhana. Menurut
UU Paten bahwa objek paten sederhana hanya dibatasi pada hal-hal yang bersifat
kasat mata (tangible), bukan yang
tidak kasat mata (intangible), dengan
bentuk, konfigurasi, konstruksi atau komponennya sederhana, dan mempunyai nilai
kegunaan praktis.
Dengan tidak
diperbolehkannya perlindungan hukum terhadap Ramuan Asli Madura melalui paten
sederhana akan berakibat pada semakin sulit dan beratnya untuk melakukan
perlindungan Ramuan Aslli Madura melalui sistem paten. karena perlindungan
hukum terhadap Ramuan Asli Madura melalui paten biasa itu mewajibkan kepada
pemegang paten untuk membayar biaya tahunan (annual fee) selama 20 tahun secara bertahap. Namun, jika melalui
paten sederhana terhadap pemegang paten tidak ada kewajiban untuk membayar
biaya tahunan tersebut.
Pembatasan
terhadap perlindungan invensi melalui paten sederhana itu merupakan legislative choice dari Pemerintah
Indonesia, karena di dalam TRIPs
Agreement tidak ada batasan seperti itu. Dari perspektif perlindungan hukum
terhadap TK bidang obat tradisional
(termasuk juga Ramuan Asli Madura), hal itu sangat tidak menguntungkan bagi
keberlangsungan dan perlindungan technological
interest (kepentingan pengembangan teknologi) dan economic interest (kepentingan pertumbuhan ekonomi) di Indonesia.
Seharusnya Indonesia tetap mempertahankan konsep mengenai objek paten yang
dapat dilindungi dengan paten sederhana sebagaimana dalam Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 1997 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1989
tentang Paten (UU Paten lama), yaitu :
Setiap penemuan berupa produk
atau proses yang baru dan memiliki kualitas penemuan yang sederhana tetapi
mempunyai nilai kegunaan praktis disebabkan karena bentuk konfigurasi,
konstruksi atau komponennya dapat memperoleh perlindungan hukum dalam bentuk
Paten Sederhana.
Paten diberikan
dalam rangka untuk mendorong timbulnya teknologi dan industri baru serta untuk
memberikan imbalan ekonomis terhadap inventor. Adapun yang dimaksud dengan
inventor dalam UU Paten adalah seorang yang secara sendiri atau beberapa orang
yang secara bersama-sama melaksanakan ide yang dituangkan ke dalam kegiatan
yang menghasilkan invensi. Oleh karena itu, sistem paten hanya melindungi
terhadap hak-hak individu (individual
right)[18]. Dengan demikian, konsep
kepemilikan dalam paten ini adalah individual
ownership (kepemilikan individu).
Sementara itu,
Ramuan Asli Madura merupakan hasil kreativitas intelektual masyarakat madura
yang diperoleh secara turun temurun dari generasi ke generasi berikutnya tanpa
diketahui siapa penemunya. Sehingga pengetahuan Ramuan Asli Madura itu telah
tidak menjadi rahasia lagi dan telah diketahui serta dimanfaaatkan oleh banyak
masyarakat di Madura. Akibat tidak diketahuinya penemu yang pertama dari Ramuan
Asli Madura tersebut, sehingga tidak ada seorangpun atau suatu kelompok apapun
yang dapat mengklaim sebagai inventornya.
Semua masyarakat
madura mempunyai hak yang sama untuk memanfaatkan Ramuan Asli Madura sebagai
sebuah warisan budaya (cultural heritage),
sepanjang pengetahuan Ramuan Asli Madura tersebut sudah menjadi public domain, atau disebut juga warisan
leluhur yang sudah dapat dinikmati secara umum (common heritage of mankind) dan bukan merupakan hasil dari
pengembangan. Suatu invensi di bidang obat-obatan yang dihasilkan dari proses
pengembangan dari TK bidang obat tradisional melalui kegiatan reseaech and development (R & D)
disebut tradisional sharing.
Dengan demikian,
konsep kepemilikan dalam Ramuan Asli Madura dapat berupa dua macam, yaitu collective ownership (kepemilikan
bersama) bagi Ramuan Asli Madura yang telah menjadi public domain. Dan individual ownership (kepemilikan
individu) bagi Ramuan Asli Madura yang dapat dibuktikan sebagai hasil dari tradisional sharing dan masih belum
diketahui oleh umum. Dari hasil penelitian diketahui bahwa sampai saat ini
tidak ada Ramuan Asli Madura yang merupakan hasil dari pengembangan sehingga
memenuhi persyaratan patentability.
Semua Ramuan Asli Madura sekarang masih merupakan pengetahuan yang diperoleh
secara turun temurun berdasarkan pengalaman.
6. Persyaratan Patentability
Dalam Ramuan Asli Madura
Persyaratan
patentability bila diterapkan
terhadap Ramuan Asli Madura :
a. Baru (Novelty)
Suatu
invensi harus memenuhi unsur kebaruan ini. Suatu invensi dapat dikatakan baru
jika invensi itu belum diketahui dan belum pernah diungkapkan kepada publik.
Untuk menentukan bahwa invensi tersebut belum pernah dipublikasikan, pemeriksa
paten akan melakukan prior art search
secara internasional bagi paten biasa dan secara nasional bagi paten sederhana.
Sarana yang pada umumnya dipergunakan dalam melakukan prior art search oleh Direktorat Paten adalah melalui dokumen
paten, maupun melalui berbagi media lainnya yang tersedia dalam masyarakat.
Dalam
syarat novelty ini mengharuskan untuk
adanya bukti dokumen, baik dokumen resmi maupun dokumen tidak resmi. Dokumen
resmi adalah berupa dokumen paten[19] yang telah dikeluarkan oleh negara. Sedangkan dokumen tidak resmi adalah
dokumen yang dapat menerangkan adanya pengungkapan sebelumnya (prior art) terhadap suatu invensi yang
dapat berupa penggambaran (description),
tertulis maupun lisan, penggunaan baik berupa pameran, penjualan atau
penawaran, atau cara-cara lain melalui rekaman video atau suara atau melalui
internet[20].
Bagi
peramu atau pemilik Perusahaan Ramuan Asi Madura, tradisi dokumentasi merupakan
sesuatu yang belum banyak dikenal. Hal ini karena memang sifat pewarisan atau
pengalihan dari Ramuan Asli Madura ini berlangsung secara tradisonal, yaitu
secara turun temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya dengan
menggunakan media lisan tanpa dokumen. Sehingga lahirnya Ramuan Asli Madura
dalam masyarakat lokal di Madura ini tidak ada dokumen yang dapat membuktikan
siapa, kapan dan dimana Ramuan Asli Madura itu berkembang dan dipergunakan
dalam praktik pengobatan. Mengenai hal ini, Agus Sardjono dalam bukunya “Hak
Kekayaan Intelektual dan Pengetahuan Tradisional” mengatakan bahwa[21] :
Pada
masa lampau, cukup banyak dijumpai diperkampungan, seorang ibu mengajari
anaknya bagaimana meracik dan membuat jamu. Para tetangga yang mengatahui bahwa
di lingkungannya tinggal seorang yang mempunyai pengetahuan tentang bagaimana
mengobati orang sakit, acapkali datang kepadanya untuk berobat. Ketika orang
yang datang semakin banyak, orang “yang berpengetahuan” tersebut mengajak
anaknya, adiknya, atau sanak saudaranya untuk membantu meracik jamu yang
bersangkutan. Dengan cara itulah pengetahuan tentang pengobatan tradisional
beralih dari generasi ke generasi berikutnya.
Proses
peralihan pengobatan tradisional sebagaimana yang diungkapkan oleh Agus
Sardjono di atas juga terjadi pada proses peralihan pengetahuan Ramuan Asli
Madura. Dengan demikian, Ramuan Asli Madura sebenarnya telah menjadi prublic domain di kalangan masyarakat
Madura. Meskipun demikian, di beberapa industri Ramuan Asli Madura masih
terdapat ciri khas dari masing-masing produk yang dibuatnya, tetapi ciri khas
tersebut bukan termasuk sesuatu yang baru karena masih merupakan derivasi dari
pengetahuan Ramuan Madura yang telah ada atau lebih gamblangnya disebut
variasi.
Jika
dikaitkan dengan unsur novelty dalam Ramuan
Asli Madura sebagai syarat untuk memperoleh paten adalah tidak terpenuhi. Hal
ini berdasarkan alasan bahwa pengetahuan tentang Ramuan Asli Madura telah
menjadi public domain bagi kalangan
masyarakat Madura dan alasan kedua adalah tidak adanya dokumen yang dapat
membuktikan penggungkapan dari Ramuan Asli Madura.
b. Mengandung Langkah Inventif (Inventive Step)
Dalam
UU Paten dijelaskan bahwa Suatu Invensi dapat disebut mengandung langkah
Inventif jika Invensi tersebut memenuhi dua unsur, yaitu :
a. Invensi tersebut merupakan hal yang tidak dapat diduga sebelumnya (non obvious) menurut seseorang yang
mempunyai keahlian tertentu di bidang teknik; dan
b. Penilaian bahwa suatu Invensi itu non
obvious harus dilakukan dengan memperhatikan keahlian yang ada pada saat Permohonan
diajukan atau yang telah ada pada saat diajukan permohonan pertama dalam hal
Permohonan itu diajukan dengan Hak Prioritas.
Syarat
non obvious ini tidak dihasilkan
secara tradisional, tetapi didasarkan pada proses research and development (R & D) sehingga menghasilkan sebuah
invensi baru. Dalam proses research and
development harus mendasarkan pada metode keilmuan tertentu (dalam hal ini
adalah farmakologi untuk ilmu di bidang obat-obatan). Sebuah metode keilmuan
harus tersusun secara sistematis dan dapat membuktikan kebenaran suatu
penelitian tersebut.
Untuk
menilai apakah Ramuan Asli Madura itu bersifat non obvious atau tidak, harus dilihat dari sudut pandang
farmakologi[22]. Ramuan
Asli Madura merupakan hasil dari kreasi intelektual masyarakat Madura yang
berupa metode ramuan, formula dan komposisi bahan dari tumbuh-tumbuhan sehingga
memiliki khasiat khusus dalam praktik pengobatan. Sementara itu, farmakologi
secara umum hanya dapat mengetahui kandungan mutu, keamanan dan khasiat yang
terdapat dalam bahan obat tradisional, bukan terhadap kandungan bahan bila
diramu, dikomposisi dan diberikan formula. Ramuan Asli Madura merupakan hasil
dari pengalaman yang ada dalam masyarakat Madura, sehingga tidak diketahui
dalam perspektif farmakologi. Atas dasar inilah, maka Ramuan Asli Madura
memenuhi unsur non obvious dalam inventive step.
Meskipun
Ramuan Asli Madura memenuhi unsur non
obvious, akan tetapi Ramuan Asli Madura tersebut tidak dapat didaftarkan
untuk mendapatkan perlindungan paten, karena Ramuan Asli Madura tersebut masih
tidak memenuhi unsur inventive step yang
kedua, yaitu ”Penilaian bahwa suatu Invensi merupakan hal yang tidak dapat
diduga sebelumnya harus dilakukan dengan memperhatikan keahlian yang ada pada
saat Permohonan diajukan”. Sementara itu, keahlian dalam membuat Ramuan
Asli Madura telah menjadi pengetahuan
umum di kalangan masyarakat Madura. Atas dasar inilah, maka dapat dikatakan
bahwa Ramuan Asli Madura tidak memenuhi syarat inventive step, karena tidak memenuhi syarat inventive step yang kedua. Hal ini dikecualikan terhadap Ramuan
Asli Madura yang merupakan hasil dari pengembangan (traditional sharing) dan memang terdapat usaha merahasikan
invensinya tersebut, maka Ramuan Asli Madura ini dapat memenuhi semua syarat
dalam inventive step.
c. Dapat Diterapkan Dalam Kegiatan Industri (Industrial
Applicable)
Menurut UU Paten bahwa suatu invensi
dikatakan memenuhi syarat industrially
applicable jika Invensi tersebut dapat dilaksanakan dalam industri
sebagaimana yang diuraikan dalam Permohonan. Unsur disclosour dalam industrially applicable ini sebenarnya
menjadi asas dalam sistem perolehan paten. Manfaat (utility)
dari suatu invensi yang dapat diterapkan dalam industri tersebut harus dapat
diakses dari pengungkapan (disclosure),
sehingga kepada semua orang dapat mempelajari dan mengembangkan invensi
tersebut berdasarkan dokumen yang terdapat di dalam Dekripsi Paten dan akhirnya
akan lahir invensi yang baru lagi.
Adanya asas disclosure di
dalam permohonan paten itu diharuskan terhadap dua macam bentuk paten, yaitu
terhadap paten produk dan paten proses. Sehingga jika suatu invensi dimaksudkan
sebagai produk, maka produk tersebut harus mampu dibuat secara berulang-ulang
(secara masal) dengan kualitas yang sama. Begitupun juga, jika suatu invensi tersebut
berupa proses, maka proses tersebut harus mampu dijalankan atau digunakan dalam
praktik.
Ramuan Asli Madura merupakan produk yang
dihasilkan dengan proses (product by
proses) yang di dalamnya mencakup formula dan komposisi dari tumbuhan dan
dibuat secara berulang-ulang (dalam jumlah yang banyak) dengan kualitas yang
sama oleh masyarakat Madura. Di samping itu, Ramuan Asli Madura juga mengandung
teknologi yang berupa proses yang di dalamnya mencakup metode pembuatan serta
penggunaan dari Ramuan Asli Madura tersebut.
Syarat industrially
applicable ini pada dasarnya tidak ada masalah yang prinsipil jika
diterapkan pada Ramuan Asli Madura. Ramuan Asli Madura ini, baik yang
dikonsepsikan sebagai product by proses maupun
yang dikonsepsikan sebagai proses, pada dasarnya semuanya dapat diungkapkan di
dalam Deskripsi Paten pada saat Permohonan Pendaftaran Paten. Dengan demikian,
syarat industrially applicable ini
dapat terpenuhi dalam Ramuan Asli Madura.
Akan tetapi masalahnya adalah apakah peramu
atau pemilik industri Ramuan Asli Madura tersebut bisa mengungkapkan invensi
tersebut secara jelas dan lengkap sebagaimana struktur dalam deskripsi paten
dan menurut sudut pandang farmakologi. Sebagai solusi atas masalah ini adalah
seorang Apoteker yang menjadi penanggung jawab teknis dalam proses pembuatan
Ramuan Asli Madura harus juga diberikan tugas untuk bisa mengungkapkan invensi
dari Ramuan Asli Madura di dalam deskripsi paten atau dengan cara meminta
bantuan dari Konsultan HKI untuk bisa mengungkapkan invensi dari Ramuan Asli
Madura tersebut dalam Dokumen Deskripsi Permohonan Pendaftaran Paten.
7. Konsep Alternatif Perlindungan Hukum Terhadap Traditional Knowledge Bidang Obat
Tradisional Melalui Sistem Paten
Terdapat beberapa
konsep alternatif yang dapat dilakukan oleh Pemerintah Indonesia untuk
memberikan perlindungan hukum terhadap TK bidang obat tradisional, termasuk bidang Ramuan Asli Madura melalui sistem paten
sebagai langkah preventif untuk mencegah terjadinya misappropriation. Di antara konsep alternatif tersebut adalah
sebagai berikut :
a. Konsep Kepemilikan atas TK Bidang Obat Tradisional oleh
Negara
Indonesia memang
tidak dapat menghindar dari TRIPs
Agreement untuk melaksanakan berdasarkan prinsip full compliance. Namun, bukan berarti Indonesia tidak boleh membuat
pengecualian-pengecualian atau membuat ketentuan-ketentuan baru di bidang paten
untuk memberikan perlindungan hukum terhadap TK bidang obat tradisional,
sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip TRIPs
Agreement. Landasan hukum dari argumen ini adalah dapat dilihat dalam article 8 (1) TRIPs Agreement di atas.
Indonesia
sebenarnya telah melaksanakan ketentuan pengecualian yang diatur dalam article 8 (1) TRIPs Agreement tersebut, yaitu dengan
diterapkannya Pasal 10[23]
UU Hak Cipta menyangkut perlindungan hukum terhadap ekspresi folklor[24]
(traditional cultural expression/TCe).
Konsep kepemilikan di dalam folklor itu adalah collective ownership, sama dengan konsep TK bidang obat-obatan.
Pengertian kolektif di sini bukan dalam arti gabungan individu-individu (group of individuals), melainkan
kolektif dalam arti pemilikan oleh masyarakat lokal yang bersangkutan, baik
yang terorganisir maupun tidak.
Karena tidak
adanya pihak yang dapat mengklaim atas ekspresi
folklor di Indonesia tersebut, maka
negara mengambil alih hak tersebut demi memberikan perlindungan hukum terhadap
ekspresi folklor tersebut dari tindakan misappropriation. Di dalam ketentuan Pasal
10 UU Hak Cipta ditentukan bahwa negara memegang hak atas ekspresi folklor
tersebut. Segala tindakan pengumuman dan perbanyakan terhadap ekspresi folklor oleh orang yang bukan warga
negara Indonesia harus terlebih dahulu mendapat izin dari ”instansi yang
terkait”[25] dalam masalah tersebut.
Tidak adanya
pihak yang dapat mengklaim sebagai pemilik atau pemegang hak atas TK bidang
obat tradisional, apalagi ditambah lagi dengan tidak adanya kepedulian dari
masyarakat lokal (indigenous peoples)
atas tindakan misappropriation karena
pengaruh paradigma kolektivisme dan spritualisme yang diyakininya, telah
menjadi penyebab terjadinya tindakan misappropriation
oleh pihak asing yang telah merugikan kepentingan ekonomi dan budaya bangsa
Indonesia. Untuk memberikan perlindungan hukum, maka negara harus memegang hak
atas TK bidang obat tradisional,
termasuk juga Ramuan Asli Madura sebagaimana
yang diberlakukan terhadap ekspresi folklor[26].
Meskipun izin
pemanfaatan oleh pihak asing atas TK bidang obat tradisonal berada pada negara,
akan tetapi dalam prosedur pemberian izin itu harus tetap didasarkan pada
persetujuan dari masyarakat lokal yang bersangkutan melalui prior informed concent. Dengan kata
lain, Pemerintah sebagai Pemegang Hak hanya bersifat teknis prosedural dalam pemberian izin,
sedangkan pihak yang menentukan dalam proses perizinan itu adalah adanya
persetujuan dari masyarakat lokal sendiri sebagai pemilik dari TK bidang obat
tradisional. Untuk itulah maka harus ada Lembaga Perwakilan Masyarakat
tradisional yang dapat mengakomodir aspirasi dan mewakili masyarakat
lokal serta yang dapat menentukan mengenai persetujuan atas pemanfaatan TK
bidang obat tradisional tersebut. Dengan demikian, di dalam perubahan UU Paten[27]
harus juga diperjelas mengenai persyaratan dan prosedur pemberian izin atas
pemanfaatan TK bidang obat tradisional tersebut[28].
Pemanfaatan atas TK bidang obat tradisional yang dimaksud
disini adalah pemanfaatan atas hak eksklusif oleh pihak asing sebagaimana yang
ditentukan di dalam Pasal 16 ayat (1) dan ayat (2) UU Paten, yaitu :
(1)
Pemegang Paten memiliki hak eksklusif untuk melaksanakan
Paten yang dimilikinya dan melarang pihak lain tanpa persetujuannya ;
a. dalam hal
Paten-produk: membuat, menggunakan, menjual, mengimpor, menyewakan,
menyerahkan, atau menyediakan untuk dijual atau disewakan atau di diserahkan
produk yang diberi Paten;
b. dalam hal
Paten-proses: menggunakan proses produksi yang diberi Paten untuk membuat
barang atau tindakan lainnya sebagaimana dimaksud dalam huruf a.
(2) Dalam hal
Paten-proses, larangan terhadap pihak lain yang tanpa persetujuannya melakukan
impor sebagimana dimaksud pada ayat (1) hanya berlaku terhadap impor produk
yang semata-mata dihasilkan dari penggunaan Paten-proses yang dimilikinya.
Beralihnya pemegang hak atas TK bidang obat tradisional
berakibat beralihnya pula hak eksklusif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16
ayat (1) dan ayat (2) UU Paten kepada negara. Akan tetapi, hak eksklusif yang
dimaksud hanya untuk melarang atau memberikan izin yang bersifat teknis
prosedural atas pemanfaatan TK bidang obat tradisional, bukan untuk
melaksanakan. Pemberian izin atas pemanfaatan TK bidang obat tradisional
tersebut hanya terhadap pihak asing, bukan terhadap warga negara Indonesia. Hal
ini sebagaimaana diberlakukan juga terhadap pemanfaatan folklor dalam Pasal 10
ayat (3) UU Hak Cipta.
TK bidang obat
tradisonal diperoleh secara turun temurun dan dimanfaatkan dalam jangka waktu
yang tidak terbatas. Oleh karena itu, negara sebagai pemegang hak atas TK
bidang obat tradisional itu harus tanpa dibatasi dengan jangka waktu
perlindungan. ketentuan tanpa batas jangka waktu perlindungan itu sesuai juga
dengan ketentuan yang diberlakukan terhadap hak atas folklor yang dipegang oleh
negara sebagaimana ditentukan dalam Pasal 31 ayat (1) huruf a UU Hak Cipta,
yaitu ”Hak cipta atas ciptaan yang dipegang atau dilaksanakan oleh negara
berdasarkan Pasal 10 ayat (2) berlaku tanpa batas waktu”.
Meskipun negara
menjadi pemagang hak atas TK bidang obat Tradisional, bukan berarti TK bidang
obat tradisional tidak bisa dimiliki secara individu. Jika suatu invensi
dihasilkan dari pengembangan (tradisional
sharing) dari TK bidang obat tradisional, maka invensi tersebut dapat
dimiliki secara individual dan dapat dimohonkan paten, asalkan memenuhi
persyaratan patentability. Dengan
demikian, negara hanya menjadi pemegang hak terhadap TK bidang obat tradisional
yang telah menjadi public domain.
Sedangkan terhadap invensi yang dihasilkan dari proses pengembangan, maka
sebagai pemegang haknya adalah pihak yang menghasilkan invensi tersebut (inventor)[29].
Berikut bagan
mengenai konsep kepemilikan atas TK bidang obat tradisional (termasuk bidang
pengetahuan Ramuan Asli Madura) sebagaimana dijelaskan di atas :
Bagan 2
Konsep
Kepemilikan atas TK Bidang Obat Tradisional
Keterangan :
1.
TK bidang obat tradisional itu terdapat dua macam, yaitu ada
yang telah menjadi public domain dan
ada yang merupakan hasil pengembangan (traditional sharing) dari TK bidang obat
tradisional yang telah menjadi public
domain;
2.
Terhadap TK bidang obat tradisional yang telah menjadi public domain, maka Pemerintah sebagai
pemegang haknya. Sedangkan terhadap TK bidang obat tradisional yang merupakan
hasil pengembangan (traditional sharing)
dari TK bidang obat tradisional yang telah menjadi public domain, maka pihak yang menghasilkan pengembangan tersebut (inventor) sebagai pemegang haknya;
3.
Baik terhadap TK bidang obat tradisional yang telah
menjadi public domain dimana
Pemerintah sebagai pemegang haknya maupun terhadap TK bidang obat tradisional yang
merupakan hasil pengembangan (traditional sharing) dari TK bidang obat
tradisional yang telah menjadi public
domain yang dipegang oleh inventor adalah
sama-sama dapat dilindungi dengan sistem paten.
b. Persyaratan Dokumen Tambahan
Dalam Pendaftaran Permohonan Paten
Direktorat
Jenderal HKI merupakan ”benteng pertahanan” dalam melakukan langkah preventif
untuk mencegah terjadinya tindakan misappropriation.
Pemerintah Indonesia harus menentukan mengenai persyaratan dokumen tambahan
yang harus disertakan dalam permohonan Pendaftaran paten d Indonesia, baik
dengan melakukan perubahan atas UU Paten atau membuat undang-undang sui generis tersendiri maupun cukup
dengan hanya dibuatkan Peraturan Pemerintah[30].
Penyertaan
persyaratan dokumen tambahan dalam permohonan pendaftaran paten di Indonesia ini
hanya diberlakukan terhadap invensi di bidang obat-obatan yang dihasilkan dari
proses pengembangan atas TK bidang obat tradisional melalui kegiatan Research and Development (R & D)
yang akan dimohonkan paten di Indonesia. Ketentuan ini dimaksudkan untuk
mencegah adanya permohonan pendaftaran paten atas suatu invensi yang bersumber
dari TK bidang obat tradisional di
Indonesia (termasuk yang berasal dari Ramuan Asli Madura) yang dapat merugikan
kepentingan masyarakat lokal. Ketentuan ini berlaku tidak hanya terhadap
pemohon dari luar negeri melalui hak prioritas, tetapi juga berlaku terhadap
pemohon dari dalam negeri.
Pemberlakukan
persyaratan tambahan terhadap pemohon dari luar negeri maupun terhadap pemohon
dari dalam negeri ini dimaksudkan untuk tidak melanggar prinsip national treatment[31] sebagaimana
diatur dalam Article 3 TRIPs Agreement dan
prinsip MFN[32] sebagaimana diatur dalam Article 4 TRIPs Agreement. Di samping
itu juga, agar masyarakat lokal tidak dirugikan dengan adanya paten atas
invensi yang dihasilkan dari pemanfaatan TK bidang obat tradisional melalui
kegiatan R & D.
Khusus terhadap
pemohon dari dalam negeri dimaksudkan juga untuk memberikan pengakuan terhadap
adanya potensi khusus yang berupa TK bidang obat tradisional yang dimiliki oleh
suatu daerah yang merupakan kewenangan daerah yang bersifat pilihan[33].
Melalui penyertaan dokumen tambahan ini akan dimungkinkan adanya benefit sharing antara masyarakat lokal
di daerah yang bersangkutan sebagai pemilik TK bidang obat tradisional dengan bioprospector dari dalam negeri.
Jika suatu
permohonan pendaftaran paten ditolak karena tidak memenuhi persyaratan dokumen
tambahan tersebut, maka negara Indonesia tidak mempunyai kewajiban untuk
memberikan perlindungan hukum terhadap paten tersebut dalam wilayah yurisdiksi
negara Indonesia. Negara Indonesia hanya berkewajiban memberikan perlindungan
hukum terhadap suatu Invensi yang sudah terdaftar dan mendapatkan Sertifikat
Paten di Indonesia, baik terhadap invensi yang berasal dari dalam negeri maupun
yang berasal dari luar negeri. Argumen itu di dasarkan pada prinsip
teritorial di dalam TRIPs Agreement, bahwa titik tolak pelaksanaan sistem IPR tetap
bernaung dalam kedaulatan dan yurisdiksi masing-masing negara anggota WTO[34].
Di antara
persyaratan dokumen tambahan yang harus ditentukan oleh Pemerintah Indonesia
dalam dokumen permohonan pendaftaran paten tersebut adalah :
1) Dokumen Tambahan Keterangan Dalam Disclosure
Requirements (Persyaratan
Pengungkapan)
Dokumen tambahan katerangan dalam disclosure
requirements ini harus
dinyatakan dalam Dokumen Permohonan Pendaftaran paten, apakah invensi yang
bersangkutan berasal atau terkait atau menggunakan TK bidang obat tradisional tertentu
dari masyarakat lokal di Indonesia. Jika invensi tersebut menggunakan sumber TK
bidang obat tradisional yang terkait, maka kelengkapan dokumennya harus
disertai dengan dokumen yang menunjukkan adanya prior informed consent
atau perjanjian antara inventor dengan masyarakat setempat TK bidang obat
tradisional yang bersangkutan. Penambahan disclosure requirements ke
dalam permohonan pendaftaran paten ini
akan membantu Indonesia dalam melindungi hak-hak masyarakat lokal.
Meskipun Pemerintah Indonesia tidak menentukan tambahan
keterangan mengenai asal dari suatu invensi dalam dokumen permohonan
pendaftaran paten, sebenarnya disclosure requirements ini sudah menjadi ketentuan di dalam article 29 TRIPs Agreement[35] dan juga
di dalam ketentuan mengenai syarat industrially
applicable dalam UU Paten. Akan tetapi, ketentuan tersebut tidak memberikan
pengaturan yang jelas mengenai pencantuman asal muasal dari suatu invensi dalam
deskripsi paten. Atas dasar inilah, maka sangat perlu bahkan sangat dibutuhkan
bagi Indonesia untuk memberikan persyaratan tambahan yang berupa keterangan
tambahan tersebut di dalam dokumen permohonan pendaftaran paten.
2)
Dokumen Bioprospecting Contract Antara Provider
Dengan Recipient
Jika suatu invensi yang diungkapkan
dalam Permohonan Pendaftaran Paten berasal dari hasil pengembangan TK bidang
obat tradisional, maka Pemohon harus menyertakan dokumen bioprospecting contract. Setiap pengembangan TK bidang obat
tradisional yang dilakukan melalui kegiatan Research
and Development (R & D), baik oleh lembaga dalam negeri maupun oleh
lembaga luar negeri harus berorientasi pada pembangunan kapasitas (capacities building) bagi masyarakat
lokal (indigenous peoples), baik dari segi kepentingan budaya (cultural interest), kepentingan ekonomi
(economic interest), dan kepentingan
teknologi (technological interest). Oleh
karena itu, setiap permohonan pendaftaran paten atas suatu invensi yang
dihasilkan dari proses pengembangan tersebut harus mendapatkan prior informed consent dari masyarakat
lokal.
Prior
informed consent ini
dapat dilakukan dengan memanfaatkan hukum kontrak[36].
Kontrak mengenai pengembangan TK bidang obat tradisional melalui R & D di
sini disebut bioprospecting contract[37]. Bioprospecting contract ini dibuat
antara Pemerintah (provider) yang
mewakili kepentingan masyarakat lokal dengan
suatu lembaga penelitian tertentu (recipient) yang akan melakukan bioprospecting. Bioprospecting contract ini
adalah sebagai institusi hukum yang dapat dipergunakan oleh masyarakat lokal
untuk melakukan negosiasi memperjuangkan kepentingannya.
Berdasarkan konsep pengembangan TK
bidang obat tradisional melalui kegiatan R & D di atas, terdapat tiga hal yang sangat mendasar yang harus
diperjuangkan dalam bioprospecting
contract, yaitu pembagian keuntungan (benefit sharing), alih teknologi (technology transfer), dan mengenai
adanya jaminan bahwa masyarakat lokal (indigenous
peoples) tetap bisa memanfaatkan atas TK bidang obat tradisional maskipun
TK tersebut telah dipatenkan
Alasan Pemerintah sebagai salah satu
pihak di dalam bioprospecting contract
ini karena Pemerintah adalah sebagai Pemegang Hak atas TK bidang obat
tradisional. Meskipun demikian, posisi pemerintah di dalam bioprospecting contract hanyalah bersifat teknis prosedural,
artinya klausul dalam bioprospecting
contract itu haruslah tetap di dasarkan pada persetujuan dari masyarakat
lokal melalui suatu lembaga perwakilan tertentu. Hal ini berdasarkan alasan
bahwa TK bidang obat tradisional itu merupakan kreativitas intelektual yang
dihasilkan oleh masyarakat lokal.
Jika dalam R & D tersebut
menghasilkan suatu invensi di bidang obat-obatan (pharmaceutical invention), maka bioprospecting
contract itu harus disertakan sebagai dokumen persyaratan permohonan
pendaftaran paten di Indonesia. Hal ini dimaksudkan agar konsep pembangunan
kapasitas (capacities building) bagi
masyarakat lokal (indigenous peoples),
baik dari segi kepentingan budaya (cultural interest), kepentingan ekonomi
(economic interest), dan kepentingan
teknologi (technological interest)
dapat menjadi satu kesatuan dalam sistem paten di Indonesia.
Berikut bagan mengenai prosedur
permohonan pendaftaran paten atas suatu invensi yang berasal dari pengembangan
TK bidang obat tradisional (termasuk bidang Ramuan Asli Madura) :
Bagan 3
Prosedur Permohonan Pendaftaran Paten
atas Suatu Invensi yang Berasal dari Pengembangan TK Bidang Obat Tradisional di
Indonensia
Keterangan
:
1. Bioprospecting
contract dibuat
antara Pemerintah Indonesia sebagai provider
dengan bioprospector sebagai recipient pada saat akan melakukan bioprospecting. Meskipun demikian,
kalusul dalam bioprospecting contract yang
akan dibuat oleh Pemerintah Indonesia haruslah tetap didasarkan pada
persetujuan dari masyarakat lokal melalui suatu lembaga perwakilan tertentu (Prior Informed Consent of Indigenous Peoples
Agency).
2. Jika dalam kegiatan bioprospecting menghasilkan suatu
invensi baru yang berasal dari TK bidang obat tradisional di Indonesia
sebagaimana telah ditentukan di dalam bioprospecting
contract, maka pada saat invensi baru tersebut akan dimohonkan paten harus
menyertakan persyaratan dokumen yang berupa bioprospecting
contract.
Beberapa hal yang dapat dimasukkan
dalam bioprospecting contract
mengenai pengembangan TK bidang Obat Tradisional itu, dapat merujuk pada
ketentuan yang telah diberikan oleh WIPO terkait dengan klausul yang dapat
disusun dalam draft kontrak antara provider dengan recipient, yaitu[38] :
1. Para pihak. Menurut WIPO Pemerintah
yang mewakili kepentingan masyarakat lokal dalam bioprospecting contract ini disebut provider. Sedangkan perusahaan-perusahaan atau lembaga-lembaga
penelitian atau lembaga lain yang akan melakukan bioprospecting disebut recipient;
2. Ruang lingkup yang diperjanjikan (scope of contract). Ruang lingkup ini
adalah sesuatu yang harus dapat ditentukan dengan jelas dan dapat dilaksanakan
oleh para pihak. Beberapa hal yang dapat dijadikan ruang lingkup adalah
mengenai jenis obat tradisional yang akan dijadikan objek bioprospecting, mengenai pemanfaatannya, kepemilikan atas invensi
baru sebagai hasil bioprospecting untuk
dapat dimiliki oleh provider dan recipient, masalah prior informed concent;
3. Kewajiban provider. Di antara kewajiban provider
yang dapat dituangkan dalam klausul kontrak adalah mengiizinkan dan
memberikan fasilitas kepada recipient
untuk mengakses TK di Bidang Obat Tradisional yang diperjanjikan, memberikan
fasilitas untuk membuat kontrak atau menghubungkan recipient dengan masyarakat lokal (traditional knowledge holders) yang bersangkutan, merahasiakan
semua informasi yang penting yang disampaikan recipient kepadanya;
4. Kewajiban recipient. Sebagai imbalan dari akses dan transfer of materials, maka recipient
dibebani beberapa kewajiban juga yang sekurang kurangnya berupa kewajiban
menyampaikan kepada provider rincian
dari proyek penelitian dan pengembangan (R & D) yang dilakukan berdasarkan
kontrak yang bersangkutan, membayar imbalan atas akses yang diberikan kepadanya
dan memberikan komitmen mengenai benefit
sharing atas manfaat yang timbul dari bioprospecting
yang bersangkutan, memberikan imbalan lainnya (non monetary benefits) kepada provider
dan masyarakat lokal pemilik TK di bidang obat tradisional yang
bersangkutan, memberikan data kepada Pemerintah mengenai specimen and taxonomic data
dari TK di bidang obat tradisional yang menjadi objek penelitian. Selain itu, recipient juga dapat dibebani kewajiban
untuk tidak mengajukan paten atas invensi yang dihasilkan dari pelaksanaan
kontrak kecuali atas persetujuan dari provider
atau paten tersebut dimiliki secara bersama-sama antara provider dan recipient (joint ownership of
patent). Untuk memberikan jaminan atas atas benefit sharing benar-benar dapat diwujudkan, recipient dapat dibebani kewajiban untuk senantiasa memberi tahu provider mengenai tindakan
komersialisasi yang akan atau telah dilakukan;
5. Hal lain yang juga sangat penting
untuk dimasukkan dalam klausul kontrak adalah jaminan bahwa masyarakat lokal
masih tetap dapat memanfaatkan TK di bidang obat tradisional yang bersangkutan
meskipun mungkin telah diterbitkan paten atas penggunaan TK di bidang obat
tradisional tersebut. Ketentuan ini merupakan pembatasan berlakunya monopoli
hak terhadap masyarakat lokal yang bersangkutan, sehingga masyarakat lokal
tidak dirugikan dengan adanya bioprospecting
dan klaim paten atas invensinya;
6.
Ketentuan
lain yang dapat dituangkan dalam kontrak adalah menyangkut persoalan
penghentian atau berakhirnya kontrak (jangka waktu kontrak) dan bila mana dalam
pelaksanaannya terjadi sengketa. Berkenaan dengan masalah penyelesaian
sengketa, WIPO antara lain menawarkan lembaga arbitrase sebagai media
penyelesaian sengketa. Akan tetapi, perlu dipertimbangkan bahwa sengketa yang
terjadi dalam soal ini adalah tidak hanya melibatkan kehendak dari provider dan recipient, tetapi melibatkan kehendak bebas dari masyarakat lokal
yang terkena dampak dari kontrak yang bersangkutan. Oleh karena itu,
lembaga arbitrase kurang mengena untuk dapat diterapkan. Penyelesaian sengketa
tersebut lebih baik tetap dilakukan oleh lembaga peradilan. Selanjutnya,
ketentuan mengenai penghentian kontrak maupun berakhirnya perlu dirumuskan dengan tegas. Karena jika kontrak dihentikan
atau berakhir sebelum jangka waktu berakhirnya perlindungan paten selama 20
tahun, maka akan muncul persoalan lain berkaitan dengan hak paten yang usianya
tidak bergantung pada kontrak itu.
Rumusan mengenai beberapa klausul yang diberikan oleh WIPO yang dapat
dituangkan ke dalam bioprospecting
contract itu tentunya bukan berarti cocok untuk semuanya diterapkan dalam
penyusuan bioprospecting contract di
Indonesia, karena Pemerintah sebagai pemegang hak dari TK bidang obat
tradisional harus juga melihat dan mengakomodir semua kondisi dan kepentingan
yang ada dan berkembang dalam masyarakat lokal. Hal ini dimaksudkan agar tujuan capacity building dalam pelaksanaan bioprospecting contract itu tercapai. Dalam artian bahwa semua
kondisi dan kepentingan masyarakat lokal terjamin dan terlindungi dengan bioprospecting contract tersebut, baik
yang terkait dengan pembagian keuntungan (benefit sharing), alih teknologi (technology transfer), dan mengenai
adanya jaminan bahwa masyarakat lokal (indigenous
peoples) tetap bisa memanfaatkan atas TK di bidang obat tradisional
maskipun TK tersebut telah dipatenkan.
Di dalam klausul bioprospecting contract yang berasal
dari WIPO di atas masih belum menentukan masalah alih teknologi (technology
transfer)[39].
Kalusul ini adalah penting supaya masyarakat lokal dapat mengembangkan sumber TK di bidang obat tradisional tersebut
dengan berbasiskan teknologi yang sama dengan yang dipergunakan oleh recipient.
Pelaksanaan kegiatan R
& D atas TK bidang obat tradisional, terutama yang dilakukan oleh pihak
asing itu harus dapat dijadikan sebagai media untuk terjadinya alih teknologi
dari recipient kepada masyarakat
lokal. Salah satu strategi yang dapat dilakukan adalah dengan melibatkan
masyarakat lokal dalam semua tahapan dan kegiatan R & D yang dilakukan oleh
bioprospector. Strategi ini harus
juga dimasukkan dalam klausul bioprospecting
contract agar dapat terwujud dan terlindungi. Strategi ini sebenarnya telah
dilakukan oleh New Zealand, yaitu adanya bentuk kerja sama antara masyarakat
Maori dengan Cancer Genetics Research
Team dari University of Otago. Sekitar 12.000 anggota masyarakat Maori
bekerja bersama dengan Tim dalam sebuah lembaga Kimihauora Trust yang dibentuk oleh mereka. Lembaga Kimihauora Trust itu didukung pula oleh New Zealand Gastroenterologist Association
and New Zealand Health Research Council. [40]
B. UPAYA YANG DAPAT DILAKUKAN PEMERINTAH DAERAH DI MADURA
DALAM MELINDUNGI RAMUAN ASLI MADURA
1.
Dasar Kewenangan Pemerintah Daerah
dalam Melindungi Traditional Knowledge Bidang
Obat Tradisional
Kewenangan mengurus daerahnya sendiri
tersebut didasarkan pada sistem otonomi daerah yang diterapkan oleh Pemerintah
Indonesia sejak tahun 1999 melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang
Pemerintahan daerah, yang kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004 Tentang Pemerintahan daerah (UU Pemda). Hal ini berarti telah terjadi
perubahan power relationship antara
pusat dan daerah, yaitu berupa perubahan dari sistem sentralisasi menjadi
sistem desentralisasi[41].
Tidak semua urusan pemerintahan itu
menjadi kewenangan pemerintah daerah. Di dalam Pasal 10 ayat (3) UU Pemda
disebutkan bahwa urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah pusat
adalah selain yang ditentukan menjadi urusan pemerintah pusat. Di antara
beberapa urusan yang menjadi kewenangan pemerintah pusat itu adalah :
Urusan pemerintahan yang menjadi
urusan pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi :
a. politik luar negeri;
b. pertahanan;
c. keamanan;
d. yustisi;
e. moneter dan fiscal nasional; dan
f. agama.
Di dalam UU Pemda itu juga ditentukan secara limitatif
beberapa urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah daerah (baik
daerah provinsi maupun daerah kabupaten/kota). Hal itu terdapat
di dalam Pasal 13 ayat (1) dan Pasal 14 ayat (1) UU Pemda, yaitu :
Pasal 13 ayat (1) :
Urusan wajib yang
menjadi kewenangan pemerintahan daerah provinsi merupakan urusan dalam skala
provinsi yang meliputi :
a. Perencaan dan pengendalian
pembangunan;
b. Perencanaan, pemanfaatan, dan
pengawasan tata ruang;
c. Penyelenggaran ketertiban umum dan
ketentraman masyarakat;
d.
Penyediaan sarana dan prasarana umum;
e. Penanganan bidang kesehatan;
f.
Penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber daya
manusia potensial;
g.
Penanggulangan masalah sosial lintas kabupaten/kota;
h. Pelayanan bidang ketenagakerjaan lintas
kebupaten/kota;
i. Fasilitas pengembangan koperasi, usaha
kecil, dan menengah termasuk lintas kabupaten/kota;
j. Pengendalian lingkungan hidup;
k.
Pelayanan pertahanan termasuk lintas kebupaten/kota;
l.
Pelayanan kependudukan, dan catatan sipil;
m. Pelayanan administrasi umum
pemerintahan;
n. Pelayanan administrasi penanaman modal
termasuk lintas kabupaten/kota;
o. Penyelenggaraan pelayanan dasar
lainnya yang belum dapat dilaksanakan oleh kabupaten/kota;
p. Urusan wajib lainnya yang diamanatkan
oleh peraturan perundang-undangan.
Pasal
14 ayat (1) :
Urusan wajib yang menjadi kewenangan
pemerintahan daerah untuk kabupaten/kota merupakan urusan dalam skala
kabupaten/kota yang meliputi :
a. Perencaan dan pengendalian
pembangunan;
b. Perencanaan, pemanfaatan, dan
pengawasan tata ruang;
c. Penyelenggaran ketertiban umum dan
ketentraman masyarakat;
d.
Penyediaan sarana dan prasarana umum;
e. Penanganan bidang kesehatan;
f. Penyelenggaraan pendidikan;
g. Penanggulangan masalah sosial;
h. Pelayanan bidang ketenagakerjaan;
i.
Fasilitas pengembangan koperasi, usaha kecil, dan
menengah;
j. Pengendalian lingkungan hidup;
k. Pelayanan pertahanan;
l.
Pelayanan kependudukan, dan catatan sipil;
m. Pelayanan administrasi umum
pemerintahan;
n. Pelayanan administrasi penanaman
modal;
o. Penyelenggaraan pelayanan dasar
lainnya;
p. Urusan wajib lainnya yang diamanatkan
oleh peraturan perundang-undangan.
Meskipun
di dalam Pasal 13 ayat (1) dan Pasal 14 ayat (1) UU Pemda di atas, urusan
pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah daerah ditentukan secara
limitatif, tetapi hal itu tidaklah absolut. Karena di dalam ketentuan
berikutnya, Pasal 13 ayat (2) dan Pasal 14 ayat (2) UU Pemda, pemerintah
provinsi dan pemerintah kabupaten/kota diberi kewenangan lain yang bersifat
pilihan yang merupakan potensi khusus yang terdapat dalam suatu daerah otonom[42].
Adapun bunyi dari ketentuan Pasal 13 ayat (2) dan Pasal
14 ayat (2) UU Pemda adalah :
Pasal 13 ayat (2) :
“Urusan pemerintahan provinsi yang bersifat pilihan
meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan
potensi unggulan daerah yang bersangkutan”.
Pasal 14 ayat (2)
:
“Urusan
pemerintahan kabupaten/kota yang bersifat pilihan meliputi urusan pemerintahan
yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang
bersangkutan”.
Ketentuan dalam
Pasal 13 ayat (2) dan Pasal 14 ayat (2) UU Pemda ini merupakan dasar hukum bagi
pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus
obat tradisional. Berdasarkan paradigma otonomi daerah, Pemerintah
daerah harus memberikan jaminan atas adanya perlindungan hukum terhadap obat
tradisional yang merupakan potensi daerah untuk dioptimalkan bagi peningkatan
kesejahteraan masyarakat daerah.
Melalui dasar
pelaksanaan otonomi daerah, pemerintah daerah bersama masyarakat daerah dapat
mengatur dan mengurus obat tradisional
untuk meningkatkan kapasitas masyarakat daerah, pengembangan kemampuan inovasi,
peningkatan produktivitas dalam rangkan peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Sistem otonomi daerah haruslah dipandang oleh pemerintah daerah beserta dengan
masyarakat daerah sebagai peluang atau kesempatan bagi pengelolaan dan
pendayagunaan aset daerah secara lebih optimal sesuai dengan potensi dan karakteristik
daerah dan masyarakat setempat, termasuk pengembangan dan pelindungan
terhadap obat tradisional.
2. Beberapa Upaya yang Dapat Dilakukan Oleh Pemerintah
Daerah di Madura dalam Memberikan Perlindungan Terhadap Ramuan Asli Madura
Pemerintah Daerah
dapat melakukan berbagai upaya sebagai tindakan pencegahan terhadap
tindakan misappropriation terhadap Ramuan Asli Madura. di antara berbagai
upaya tersebut adalah sebagai berikut :
a. Membuat Dokumentasi Ramuan Asli Madura
Upaya
perlindungan yang paling efektif dalam memberikan perlindungan terhadap Ramuan
Asli Madura adalah dengan membuat sistem dokumentasi tentang Ramuan Asli
Madura. Dokumentasi atas pengetahuan Ramuan Asli Madura tersebut dapat dibuat
dalam bentuk buku, artikel, film, rekaman audio, gambar maupun foto manuskrip,
tulisan-tulisan ilmiah, atau catatan-catatan yang dibuat oleh Pemerintah
Daerah. Namun, WIPO menyatakan bahwa dokumentasi model itu kurang efektif
sebagai sarana searching prior art.
Karena dalam praktik, para pemeriksa tidak mungkin mengakses semua dokumen yang
tidak tersedia dalam bentuk atau format digital dan dapat diakses melalui media
internet. Oleh karena itu, untuk membuat sistem dokumentasi Ramuan Asli Madura
yang efektif haruslah mempertimbangkan aspek accessability .[43]
Dokumentasi atas
Ramuan Asli Madura tidak hanya berfungsi untuk mencegah tindakan misappropriation oleh pihak asing, akan
tetapi dengan melalui media publikasi, apalagi melalui sistem digital
diharapkan akan dapat menarik pihak asing untuk melakukan R & D terhadap
Ramuan Asli Madura untuk menghasilkan invensi baru atau bisa juga pihak asing
akan menanamkan modalnya untuk mengembangkan industri Ramuan Asli Madura.
Dalam membuat
dokumentasi mengenai Ramuan Asli Madura haruslah didasarkan pada
langkah-langkah yang benar. WIPO[44] telah
memberikan panduan mengenai beberapa aspek teknis yang diperlukan dalam setiap
pendokumentasian, yaitu :
a.
Sebelum pelaksanaan dokumentasi, yaitu mengkaji
pilihan-pilihan sistem pendokumentasian dan penentuan tujuan dari
pendokumentasian;
b.
Selama proses dokumentasi, yaitu membahas strategi dalam
menjaga kepentingan yang telah ditentukan sejak awal;
c.
Setelah dokumentasi, yaitu membahas cara-cara
mengendalikan pemanfaatan TK yang telah didokumentasikan dengan menggunakan
sistem IPR yang ada dan strategi-strateginya.
Di samping itu,
WIPO juga telah memberikan guildeline (pedoman)
dalam rangka membangun sistem dokumentasi yang efektif. Menurut Adams &
Apollonio bahwa beberapa unsur yang terpenting dalam menyusun dokumen dimaksud
adalah[45] :
a.
Tanggal publikasi
Tanggal publikasi
ini adalah tanggal pada saat dokumen dibuat dan dipublikasikan. Pancantuman
tanggal publikasi ini penting dalam kaitannya first to file system yang diterapkan di Indonesia. pencantuman
tanggal publikasi ini sebenarnya tidak efektif bagi preventive protection bila diterapkan pada pengetahuan Ramuan Asli
Madura yang telah dihasilkan beratus-ratus tahun lamanya.
b.
Media dan bahasa yang digunakan
Untuk
mengefektifkan sistem dokumentasi maka media yang dipergunakan haruslah
berbentuk digital agar dapat diakses secara nasional dan internasional. Untuk
itulah, bahasa yang digunakan haruslah bahasa Inggris yang dapat dimengerti
oleh masyarakat Internasional dalam searching
prior art.
c.
Substansi yang didokumentasikan
Substansi yang
harus dicantumkan dalam dokumentasi ini haruslah jelas dan lengkap. Hal ini
sebenarnya sama dengan substansi yang harus dicantumkan dalam Deskripsi Paten
sehingga dapat memenuhi unsur disclosure.
Pencantuman substansi ini bisa menjadi hal yang dilematis, karena bila
substansi yang dicantumkan dalam dokumen cukup lengkap dan jelas maka akan
dapat mengundang pihak lain untuk melakukan misappropriation.
Sebaliknya, jika dokumen itu kurang lengkap dan jelas, maka dokumen itu tidak
bisa digunakan untuk melakukan penangkalan maupun gugatan pembatalan atas paten
yang telah diberikan.
d.
Manajemen atas hak yang timbul dari dokumentasi
Untuk
mengefektifkan adanya sistem dokumentasi sebagai dokumen prior art ini harus didukung pula dengan kejelasan mengenai siapa
yang berhak dan bagaimana memenuhi dokumentasi serta bagaimana mempertahankan
hak sejak dibuatkannya sistem dokumentasi tersebut.
Manajemen hak
atas dokumentasi tersebut di atas juga akan mengandung masalah jika diterapkan
pada sistem dekumentasi atas Ramuan Asli Madura, karena di Indonesia masih
belum diatur mengenai siapa yang menjadi pemegang hak atas TK bidang obat
tradisional. Akan tetapi, hal itu bukan berarti Pemerintah Daerah di Madura
harus berdiam diri, karena tindakan misappropriation
akan selalu mengancam terhadap keberadaan Ramuan Asli Madura. Oleh karena
itu, sistem dokumentasi haruslah tetap dilakukan oleh Pemerintah Daerah di
Madura.
Semua Pemerintah
Daerah di Madura mempunyai kewenangan yang bersifat pilihan untuk mengurus
potensi khusus yang terdapat di Daerahnya[46].
Oleh karena itu, untuk mengefektifkan dan mengoptimalkan upaya perlindungan
Ramuan Asli Madura, maka sistem dokumentasi atas Ramuan Asli Madura tersebut
harulah diberikan kepada Pemerintah Daerah di Madura.
Ramuan Asli
Madura merupakan pengetahuan yang telah menjadi public domain, artinya yang telah diketahui dan dimanfaatkan secara
umum oleh masyarakat Madura. Oleh karena itu, pihak yang bertanggung jawab atas
dokumentasinya adalah semua Pemerintah Daerah di Madura. Hal ini didasarkan
pada alasan bahwa salah satu dari Pemerintah Daerah Kabupaten di Madura tidak
ada yang dapat mengklaim atas pengetahuan Ramuan Asli Madura tersebut, karena
sudah tidak diketahui asal muasalnya dan juga telah dimanfaatkan oleh semua
masyarakat di Madura. Untuk itu, maka dokumentasi atas Ramuan Asli Madura
tersebut dapat dilakukan dalam bentuk kerja sama antar Pemerintah Daerah dari
keempat Kabupaten di Madura, misalnya dengan membentuk kelompok kerja sistem
dokumentasi dengan anggota yang terdiri dari unsur Pemerintah Daerah, Perguruan
Tinggi, dan Lembaga Perwakilan Masyarakat Industri Ramuan Asli Madura dari
keempat Kabupaten di Madura tersebut.
Meskipun
Pemerintah Daerah Kabupaten di Madura mempunyai tanggung jawab terhadap sistem
dokumentasi Ramuan Asli Madura yang telah menjadi public domain, akan tetapi mereka tidak dapat menjadi pemegang hak
atas pengetahuan Ramuan Asli Madura tersebut. Hal ini disebabkan karena
pengetahuan dan pemanfaatan atas Ramuan Asli Madura itu lintas daerah kabupaten
dan tidak diketahui asal muasalnya. Jadi, Pemerintah Daerah Kabupaten di Madura
tersebut tidak dapat mengklaim terhadap suatu pengetahuan Ramuan Asli Madura.
Atas dasar itulah, maka sebagai pemegang hak atas pengetahuan Ramuan Asli
Madura ini tetap berada pada Pemerintah Pusat[47],
sebagaimana juga diberlakukan terhadap ekspresi folklore dalam Pasal 10 UU Hak
Cipta.
Pemegang Hak atas
pengetahuan Ramuan Asli Madura oleh Pemerintah itu dimaksudkan agar terdapat
lembaga resmi yang berhak untuk memberikan izin atas pemanfaatan pengetahuan
Ramuan Asli Madura dan sebagai provider dalam
bioprospecting contract yang
didasarkan pada persetujuan dari masyarakat lokal di Madura. Di samping itu,
sebagai wakil dari masyarakat lokal di Madura untuk menyelesaikan sengketa
mengenai kepemilikan dan pemanfaatan pengetahuan Ramuan Asli Madura. Sedangkan
dokumentasi menjadi tanggung jawab Pemerintah Daerah di Madura dimaksudkan agar
terdapat dokumen prior art yang
lengkap dan jelas serta selalu dilakukan pembaharuan sehingga dapat
dipergunakan untuk mencegah adanya pendaftaran paten atas suatu invensi yang
berasal dari tindakan misappropriation atas
pengetahuan Ramuan Asli Madura.
Dari sini
kemudian dapat ditemukan mengenai konsep pembagian tanggung jawab antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
terkait upaya perlindungan hukum terhadap TK bidang obat tradisional, yaitu
Pemerintah Pusat diberikan tanggung jawab sebagai pemegang hak atas TK bidang
obat tradisional dan harus diatur melalui perubahan UU Paten atau memalui
undang-undang sui generis maupun
cukup dengan dibentuk Peraturan Pemerintah. Sedangkan Pemerintah Daerah diberi
tanggung jawab dalam sistem dokumentasi TK bidang obat tradisional[48].
b. Membuat Kesepakatan Bersama Antar Pemerintah Daerah di
Madura Terkait dengan Komitmen Perlindungan Terhadap Ramuan Asli Madura
Tidak adanya
ketentuan dalam UU Paten mengenai pihak yang dapat menjadi pemegang hak atas TK
bidang obat tradisional telah menjadi bagian dari persoalan perlindungan hukum
terhadap Ramuan Asli Madura. Hal ini bukan berarti Pemerintah Daerah di Madura
harus tinggal diam, karena Pemerintah Daerah di Madura mempunyai kewenangan
yang besifat pilihan untuk mengurus segala potensi yang menjadi andalan daerah,
termasuk bidang Ramuan Asli Madura. Hal ini sesuai dengan Pasal 14 ayat (2) UU
Pemda, yaitu :
“Urusan
pemerintahan kabupaten/kota yang bersifat pilihan meliputi urusan pemerintahan
yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang
bersangkutan”.
Meskipun
masing-masing Pemerintah Daerah di Madura mempunyai kewenangan yang bersifat
pilihan untuk mengurus Ramuan Asli Madura tersebut, akan tetapi mereka tidak
dapat membuat Peraturan Daerah mengenai perlindungan hukum terhadap Ramuan Asli
Madura. Hal itu disebabkan karena pengetahuan Ramuan Asli Madura sudah tidak
diketahui asal daerahnya dan tidak dimiliki oleh salah satu kabupaten di Madura
tersebut. Pengetahuan Ramuan Asli Madura telah diketahui dan dimanfaatkan
secara umum oleh masyarakat Madura (public
domain atau common heritage of mankind),
kecuali terhadap pengetahuan Ramuan Asli Madura yang dapat dibuktikan asal
daerahnya atau terhadap pengetahuan Ramuan Asli Madura yang merupakan hasil
dari pengembangan yang masih belum menjadi public
domain.
Untuk tetap dapat
memberikan perlindungan terhadap Ramuan Asli Madura dari tindakan misappropriation, tentunya Pemerintah
Daerah di Madura tidak dapat hanya menggantungkan pada pembentukan Peraturan
Daerah tersebut, akan tetapi dapat melakukan upaya lain, yaitu dengan membuat kesepakatan
bersama antar Pemerintah Daerah di Madura terkait dengan komitmen perlindungan
terhadap Ramuan Asli Madura. Adapaun beberapa hal yang dapat dituangkan dalam
substansi kesepakatan bersama tersebut adalah :
a.
Prosedur pemberian izin atas pemanfaatan Ramuan Asli
Madura
Sebelum adanya
pengaturan yang jelas mengenai pihak yang menjadi pemegang hak atas TK bidang
obat tradisional, maka Pemerintah Daerah di Madura dapat mengatur mengenai
prosedur perizinan atas pemanfaatan Ramuan Asli Madura. Pemberian izin tersebut
harus tetap mendasarkan pada adanya persetujuan melalui prior informed consent dari masyarakat lokal di Madura. Dengan kata
lain, Pemerintah Daerah tidak dapat mengeluarkan izin tanpa persetujuan dari
masyarakat lokal di Madura. Begitupun sebaliknya, masyarakat lokal di Madura
tidak dapat memberikan persetujuan tanpa melalui izin dari semua Pemerintah
Daerah di Madura.
b.
Prosedur Research
and Development (R & D) atas Ramuan Asli Madura
Untuk melakukan
kegiatan R & D atau biopropecting
atas Ramuan Asli Madura, maka pihak bioprospector harus memperoleh
persetujuan terlebih dahulu dari masyarakat lokal melalui prior informed consent. Hal ini dimaksudkan untuk dijadikan sebagai
sarana alih teknologi dan menghindari kerugian apabila dalam R & D tersebut
dihasilkan invensi yang akan dimohonkan perlindungan paten. Prior informed consent itu dapat
dilakukan melalui pembuatan bioprospecting contract.
Dengan demikian,
di dalam kesepakatan bersama antar Pemerintah Daerah di Madura tersebut juga
dapat diatur mengenai pihak yang dapat menjadi provider dalam bioprospecting
contract. Karena masing-masing Pemerintah Daerah di Madura adalah yang
berhak atas pemberian izin mengenai pengembangan Ramuan Asli Madura, maka
sebagai provider dalam bioprospecting contract juga diserahkan
pada semua Pemerintah Daerah di Madura secara bersama-sama.
c.
Mekanisme benefit
sharing atas pemanfaatan dan Pengembangan Ramuan Asli Madura
Dalam setiap
kegiatan pemanfaatan dan pengembangan Ramuan Asli Madura melalui research and devolepment (R & D)
bisa melibatkan berbagai unsur, baik dari Pemerintah Daerah di Madura,
perwakilan dari masyarakat lokal di Madura serta pihak luar.oleh karena itu,
perlu dilakukan kesepakatan mengenai benefit
sharing. Mekanisme benefit sharing ini harus dapat
dijadikan sebagai pedoman dalam prior
informed consent dan pada saat
membuat bioprospecting contract.
Benefit sharing ini bukan berarti harus berbentuk
finansial, akan tetapi juga dapat berbetuk kesepakatan mengenai alih teknologi
(technology transfer), penelitian
bersama serta pengembangannya maupun adanya hak kepemilikan atas paten secara
bersama[49].
d.
Keterlibatan unsur Pemerintah Daerah dan Masyarakat lokal
di Madura dalam pelaksanaan Research and
Devolepment (R & D) atas Ramuan Asli Madura
Dalam setiap R
& D harus diupayakan adanya kesepakatan mengenai keterlibatan unsur
Pemerintah Daerah dan Masyarakat lokal di Madura dalam penelitian. Hal itu
dimaksudkan untuk mempercepat perolehan teknologi dari recipient. Oleh karena itu, di dalam kesepakatan bersama antar
Pemerintah Daerah di Madura itu juga diatur mengenai mekanisme penentuan wakil
dan jumlah wakilnya dari masing-masing kabupaten di Madura untuk dilibatkan
dalam R & D tersebut.
e.
Mekanisme penyelesaian sengketa kepemilikan dan
pemanfaatan Ramuan Asli Madura
Hal yang penting
juga yang harus dimasukkan dalam kesepakatan bersama antar Pemerintah Daerah di
Madura adalah mengenai kesepakatan siapa pihak yang dapat mewakili dalam
menyelesaikan sengketa kepemilikan dan pemanfaatan Ramuan Asli Madura. Terdapat
dua jalan yang dapat dilalui oleh Pemerintah Daerah di Madura tersebut, yaitu
jika kontrak itu dibuat dengan pihak dari
dalam negeri, maka pihak yang dapat mewakili dalam forum tersebut adalah
Pemerintah Daerah. Jika kontrak itu dibuat dengan pihak dari luar negeri, maka hal ini tergantung pada pilihan forum (choice of forum) yang disepakati dalam
kontrak. Jika pilihan forum penyelesain
sengketa yang dipilih dalam kontrak adalah di Indonesia, maka pihak yang
dapat mewakili dalam forum tersebut adalah Pemerintah Daerah di Madura. Jika
forum yang dipilih itu di luar negeri, maka Pemerintah Daerah tersebut dapat
menyerahkan urusan penyelesaian sengketa tersebut kepada lembaga Pemerintah
Pusat (Direktorat Jenderal HKI) sebagai pejabat yang bertanggung jawab atas
persoalan HKI di Indonesia.
c. Mengembangkan Ramuan Asli Madura Melalui kegiatan Research and Development (R & D)
untuk Memunculkan Inovasi dan Invensi Baru
Indonesia masih
kental dengan budaya ketergantungan dengan pihak asing, termasuk dalam hal R
& D. Untuk itulah, maka Pemerintah Daerah di Madura harus berani untuk
merubah budaya itu dengan membangun infrastruktur yang dapat dipergunakan untuk
melakukan pengembangan atas Ramuan Asli Madua. Indonesia, termasuk semuan daerah
kabupaten di Madura, tidak bisa untuk selamanya menggantungkan diri pada pihak
asing. Setiap kegiatan R & D atas keunggulan suatu negara berarti secara
tidak langsung telah memberikan sebagian bahkan bisa juga sebagian besar
kekayaannya kepada pihak asing. Karena itulah, alih teknologi menjadi sangat
penting dalam proses R & D tersebut agar Indonesia dapat sesegera mungkin
melakukan R & D secara mendiri.
Dalam era
teknologi dan perdagangan bebas sekarang ini, setiap negara (termasuk juga
daerah) dituntut untuk dapat mengembangan keunggulan yang terdapat pada
daerahnya. Dengan demikian, Pemerintah Daerah di Madura harus merencanakan
program pengembangan Ramuan Asli Madura untuk menghasilkan suatu inovasi atau
bahkan menghasilkan invensi baru yang dapat dipatenkan.
Dalam pelaksanaan
R & D tersebut, Pemerintah Daerah harus juga melibatkan semua stakeholders yang ada di Madura. Akan
tetapi, jika belum mampu dapat melakukan kerja sama dengan pihak lain, baik
dari lembaga pemerintah maupun swasta (dalam negeri maupun luar negeri). Di
antara stakeholders yang dapat
dilibatkan dalam kegiatan R & D tersebut adalah instansi dari Pemerintah
Daerah di Madura, Lembaga Perguruan Tinggi terkait, Masyarakat Industri Ramuan
Asli Madura.
d. Mengalokasikan Upaya Perlindungan Ramuan Asli Madura
Dalam Anggaran Belanja Daerah
Untuk mencegah
terjadinya tindakan misappropriation,
semua Pemerintah Daerah di Madura harus sama-sama berkomitmen untuk melakukan
upaya perlindungan dan upaya pengembangan atas Ramuan Asli Madura. Upaya
tersebut sulit bisa berjalan tanpa didukung oleh faktor anggaran yang jelas.
Untuk itulah, maka setiap pembentukan maupun perubahan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah (APBD) haruslah dapat mengalokasikan dalam anggaran belanja
untuk pelaksanaan dari program perlindungan dan pengembangan Ramuan Asli
Madura.
Sebagai wujud
dari adanya kesepakatan bersama antar Pemerintah Daerah di Madura di atas, maka
sebelum menetapkan APBD tersebut haruslah dilakukan koordinasi antar Pemerintah
Daerah di Madura untuk menentukan kebutuhan anggaran dalam satu tahun.
Penentuan anggaran tersebut dapat dilakukan secara proporsional dengan
mendasarkan pada tingkat kebutuhan anggaran tiap kabupaten.
Anggaran yang
telah ditetapkan dalam APBD oleh masing-masing Pemerintah Daerah tersebut dapat
diperuntukkan untuk kegiatan dokumentasi, kegiatan Research and Development (R & D), biaya penyelesaian sengketa
yang terkait dengan kepemilikan dan pemanfaatan
Ramuan Asli Madura. Di samping itu juga,
dapat dialokasikan untuk biaya mendapatkan paten bagi Ramuan Asli Madura
yang merupakan hasil dari pengembangan, baik oleh atas nama Pemerintah Daerah
maupun oleh atas nama masyarakat lokal di Madura.
e. Pembentukan Lembaga Perwakilan Masyarakat Industri Ramuan Asli Madura antar Kabupaten
se-Madura
Menurut WIPO
bahwa perlindungan hukum terhadap TK bidang obat tradisional hanya dibatasi
terhadap indigenous peoples yang
mempunyai ciri-ciri budaya yang sama[50].
Hal ini didasarkan pada alasan bahwa obat tradisional itu dihasilkan dalam indigenous peoples, sehingga pemilik
dari TK bidang obat tradisional tersebut adalah indigenous peoples. Untuk itulah, keberadaan lembaga perwakilan
dari indigenous peoples sangat
penting untuk mewakili indigenous peoples
dalam melakukan perbuatan hukum.
Atas dasar
itulah, Ramuan Asli Madura yang dihasilkan dalam masyarakat lokal di Madura
haruslah juga dibentuk sebuah lembaga perwakilan masyarakat industri Ramuan
Asli Madura untuk mewakili dan mengakomodir aspirasi dan kepentingan masyarakat
lokal di Madura secara keseluruhan, karena tidak mungkin seluruh masyarakat
lokal di Madura secara bersama-sama dapat melakukan hubungan hukum dengan pihak
lain.
Lembaga
perwakilan tersebut haruslah dibentuk di empat kabupaten di Madura dengan
struktur kepengurusan pusat dan daerah. Pengurus daerah berada di tiap
kabupaten dan pengurus pusat membawahi semua pengurus daerah. Hal ini
dimaksudkan agar dapat mewakili aspirasi dan kepentingan masyarakat lokal di
Madura di tiap kabupaten. Pembentukan
lembaga perwakilan tersebut dapat difasilitasi oleh Pemerintah Daerah di Madura
atau merupakan inisiatif dari masyarakat lokal di Madura.
Keberadaan
lembaga perwakilan ini mempunyai beberapa fungsi yang sangat strategis dalam
proses pengembangan dan perlindungan Ramuan Asli Madura. Di antara fungsi yang
dapat dilakukan oleh lembaga perwakilan tersebut adalah :
a.
Memberikan prior
informed consent dalam setiap kegiatan pemanfaatan dan pengembangan yang
akan dilakukan oleh pihak dari dalam
dan luar negeri;
b.
Melakukan dokumentasi Ramuan Asli Madura;
c.
sebagai pihak yang dapat dilibatkan dalam pelaksanaan R
& D untuk proses alih teknologi (technologi
transfer);
d.
Melakukan kegiatan pengembangan Ramuan Asli Madura;
e.
Menyebarluaskan manfaat Ramuan Asli Madura;
f.
Memberikan usulan kepada Pemerintah Pusat maupun
Pemerintah Daerah terkait dengan upaya perlindungan dan pengembangan Ramuan
Asli Madura.
Sebenarnya di
Madura sekarang telah ada organisasi yang mewadahi pelaku usaha Ramuan Asli
Madura, akan tetapi keberadaannya tidak untuk tujuan sebagaimana tujuan
dibentuknya lembaga perwakilan masyarakat industri Ramuan Asli Madura di atas. Organisasi
yang benar-benar sebagai wadah khusus bagi pelaku usaha Ramuan Asli Madura
hanya terdapat di Kabupaten Pamekasan dengan nama “Paguyuban Jamu Tradisional
Madura Arek Lancor (PJTM Arek Lancor)”[51].
Paguyuban ini dibentuk sejak tahun 2003 dan telah mempunyai Anggaran Dasar dan Anggaan Rumah Tangga (AD ART) serta sampai
tahun 2009 telah mempunyai anggota sebanyak 25 pelaku usaha Ramuan Asli Madura
di Kabupaten Pamekasan.
Selain PJTM Arek Lancor,
sebenarnya juga terdapat organisasi yang mewadahi pelaku usaha Ramuan Asli
Madura, yaitu di Kabupaten Bangkalan dengan nama “ASPIN” (Asosiasi Pengrajin)
Bangkalan. Akan tetapi, keberadaan ASPIN itu bukan khusus untuk pengrajin
Ramuan Asli Madura, keberadaan ASPIN itu sebagai wadah untuk semua pengrajin
yang ada di Kabupaten Bangkalan, baik pengrajin Ramuan Asli Madura, Pengrajin
Batik, Pengrajin Ukiran, dan lain-lain.
Dengan demikian,
keberadaan PJTM Arek Lancor di Kabupaten Pamekasan dan ASPIN di Kabupaten
Bangkalan tidak cukup untuk berfungsi sebagaimana fungsi didirikannya lembaga
perwakilan masyarakat industri Ramuan Asli Madura dimaksud di atas. Oleh karena
itu, lembaga perwakilan itu menjadi kebutuhan yang sangat strategis untuk
dibentuk di setiap kabupaten di Madura.
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil
penelitian dan pembahasan di atas, maka dalam tesis ini dapat diambil
kesimpulan sebagai berikut :
1.
Bahwa perlindungan hukum terhadap TK bidang obat
tradisional melalui sistem paten, termasuk juga bidang Ramuan Asli Madura
terkendala dengan tidak adanya pengaturan mengenai pemegang hak atas TK bidang
obat tradisional dalam UU Paten dan tidak terpenuhinya unsur kebaruan (novelty) oleh TK bidang obat tradisional
sesuai dengan persyaratan patentability.
Oleh karena itu, negara haruslah mengatur mengenai pemegang hak atas TK bidang
obat tradisional di dalam perubahan UU Paten. Sedangkan mengenai pemenuhan
unsur novelty tidak bisa dilakukan,
kecuali TK bidang obat tradisional tersebut dilakukan pengembangan (traditional sharing) sehingga dapat
memenuhi persyaratan patentability.
Untuk tetap bisa melakukan perlindungan hukum atas TK bidang obat tradisional
dari tindakan misappropriation
melalui sistem paten, terdapat dua konsep alternatif yang bisa dipergunakan
oleh Pemerintah, yaitu pertama, negara haruslah dijadikan sebagai pemegang hak
atas TK bidang obat tradisional sebagaimana juga diberlakukan terhadap ekspresi
folklor di dalam Pasal 10 UU Hak Cipta. Kedua, memberikan persyaratan dokumen
tambahan yang harus disertakan dalam permohonan pendaftaran paten. Adapun
persyaratan dokumen tambahan dimaksud berupa Dokumen Tambahan Keterangan dalam disclosure
requirements (persyaratan
pengungkapan) mengenai asal usul dari suatu invensi yang akan dimohonkan paten
dan Dokumen bioprospecting
contract sebagai institusi hukum untuk melindungi kepentingan masyarakat
lokal dalam memberikan prior informed consent. Persyaratan
dokumen tambahan ini diberlakukan bukan hanya terhadap pemohon dari luar
negeri, tetapi juga terhadap pemohon dari dalam negeri. Hal ini dimaksdukan
agar tidak melanggar prinsip national
treatment dan prinsip MFN di dalam article
3 dan article 4 TRIPs Agreement.
Di samping itu juga, agar masyarakat lokal tidak dapat dirugikan dengan adanya
hasil pengembangan dari TK bidang obat tradisional yang akan dimohonkan paten.
2.
Bahwa Pemerintah Daerah di Madura haruslah tetap
melakukan berbagai upaya untuk melindungi Ramuan Asli Madura terkait dengan
adanya berbagai persoalan dalam pelaksanaan perlindungan hukum terhadap Ramuan
Asli Madura di atas. Pemerintah Daerah mempunyai kewenangan yang berfifat
pilihan untuk melindungi Ramuan Asli Madura tersebut. Hal ini didasarkan pada
ketentuan Pasal 14 ayat (2) UU Pemda bahwa ”Pemerintah Daerah Kabupaten mempunyai
kewenangan yang bersifat pilihan atas urusan pemerintahan yang secara nyata ada
dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan
kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan”. Atas dasar
itulah, untuk melakukan pencegahan atas adanya tindakan misappropriation (terutama oleh pihak asing), maka semua Pemerinah
Daerah di Madura harus dapat melakukan beberapa upaya untuk melindungi Ramuan
Asli Madura tersebut. Di antara beberapa upaya yang dapat dilakukan oleh Pemerintah
Daerah di Madura tersebut adalah :
a.
Membuat dokumentasi Ramuan Asli Madura sebagai devensive ptotection system;
b.
Membuat kesepakatan bersama antar Pemerintah Daerah di Madura
terkait dengan komitmen perlindungan terhadap Ramuan Asli Madura;
c.
Mengembangkan Ramuan Asli Madura melalui kegiatan Research and Development (R & D)
untuk memunculkan inovasi dan invensi baru;
d.
Mengalokasikan upaya perlindungan Ramuan Asli Madura dalam
anggaran belanja daerah;
e.
Memfasilitasi pembentukan lembaga
perwakilan masyarakat industri ramuan asli madura antar kabupaten se-Madura.
B. Saran
Berdasarkan
kesimpulan di atas, maka terdapat tiga saran yang akan disampaikan dalam tesis
ini, yaitu :
a.
Adanya berbagai tindakan misapppropriation atas TK bidang obat tradisional di Indoensia harusnya
dijadikan pokok perhatian oleh Pemerintah Indonesia untuk membuatkan pengaturan
yang jelas yang dapat memberikan perlindungan hukum terhadap TK bidang obat
tradisional. Tindakan yang dapat segera dilakukan oleh Pemerintah adalah dengan
melakukan perubahan atas UU Paten atau membuatkan undang-undang sui generis atau bahkan cukup dengan
hanya dibuatkan Peraturan Pemerintah. Dua persoalan penting yang harus diatur
adalah terkait dengan negara sebagai pemegang hak atas TK bidang obat
tradisional dan pemberian persyaratan dokumen tambahan dalam permohonan
pendaftaran paten atas suatu invensi yang dihasilkan dari pengembangan TK
bidang obat tradisional, termasuk juga pengembangan atas pengetahuan Ramuan
Asli Madura.
b.
Partisipasi aktif dari para pelaku usaha Ramuan Asli
Madura tersebut tidak akan optimal dalam melindungi Ramuan Asli Madura. Untuk
itulah, maka Pemerintah Daerah sebagai representasi dari masyarakat lokal di
Madura dan sebagai pemegang kekuasaan di Madura juga haruslah segera melakukan
berbagai upaya untuk melindungi Ramuan Asli Madura tersebut. Di antara beberapa
upaya yang dapat dilakukan oleh Pemerintah Daerah di Madura adalah membuat
dokumentasi, membuat kesepakatan bersama antar Pemerintah Daerah di Madura
terkait dengan komitmen perlindungan terhadap Ramuan Asli Madura, mengembangkan
Ramuan Asli Madura melalui kegiatan Research
and Development (R & D) untuk memunculkan inovasi dan invensi baru, mengalokasikan
upaya perlindungan Ramuan Asli Madura dalam anggaran belanja daerah, dan memfasilitasi
pembentukan lembaga perwakilan masyarakat industri ramuan asli madura
antar kabupaten se-Madura.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Adian, Donny Gahral, 2001, Arus
Pemikiran Kontemporer, Jalasutra, Jogyakarta
Adisusilo, Sutarjo, 2007, Sejarah
Pemikiran Barat dari yang Klasik Sampai yang Modern, Cetakan Ke-II,
Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta
Adolf, Huala, 2005, Hukum Ekonomi
Internasional, Suatu Pengantar, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta
-----------, 2008, Dasar-dasar Hukum
Kontrak Internasional, PT. Refika Aditama, Bandung
Ansari, Endang Saifuddin, 1991, Agama dan Kebudayaan, Bina Ilmu,
Surabaya
Bagian formakologi, Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, 2005, Farmakologi dan Terapi,
Edisi ke-4, Cet. 5, Gaya Baru, Jakarta
Bakir, Herman, 2007, Filsafat Hukum :
Desain dan Arsitektur Kesejarahan, PT. Refika Aditama, Bandung
Darmodiharjo, Darji & Shidarta, 2006, Pokok-Pokok Filsafat Hukum : Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum
Indonesia, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Dharmaputera, Eka, 1988, Pancasila
Identitas dan Moralitas : Tujuan Etis Budaya, BPK Gunung Mulia, Jakarta
Dimyati, Khudzaifah, 2004, Teorisasi
Hukum : Studi tentang Perkembangan Pemikiran Hukum di Indonesia 1945-1990,
Muhammadiyah University Press, Surakarta
Djumhana, Muhamad & Djubaedillah, 2003, Hak Milik Intelektual (Sejarah, Teori dan Prakteknya di Indonesia),
Cetakan ke-III, PT. Citra Adiyia Bakti, Bandung
Djumhana, Muhamad, 2006, Perkembangan
Doktrin dan Teori Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual, PT. Citra Aditya
Bakti, Bandung
Endeshaw, Assafa, 2007, Hukum
E-Commerce dan Internet dengan Fokus di Asia Fasifik, Penerjemeh : Siwi
Purwandari & Mursyid Wahyu Hananto, Pustaka Pelajar, Yogjakarta
Jened, Rahmi, 2007, Hak Kekayaan
Intelektual, Penyalahgunaan Hak Eksklusif, Airlangga University Press,
Surabaya
Habibie, B.J., 1986, Industrialisasi,
Transportasi, teknologi dan Pembangunan Bangsa, Prisma, LP3 ES
Hartono, Sri
Redjeki, 2007, Hukum Ekonomi Indonesia, Bayumedia,
Malang
Lawrence M. Friedmaan, 2001, American Law In Introduction (Hukum Amerika
Sebuah Pengantar), Scond Edition, Penerjemah : Wisnu Basuki, PT. Tata Nusa,
Jakarta
Linsey, Tim, et. al., 2006, Hak Kekayaan Intelektual : Suatu Pengantar, PT. Alumni, Bandung
Muhammad, Abdulkadir, 2006, Hukum
Perusahaan Indonesia, Cetakan III, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung
Kansil, C.S.T., 1990, Hak Milik
Intelektual : Paten, Merek Perusahaan, Merek Perniagaan, Hak Cipta, Bumi
Aksara, Jakarta
Kansil, C.S.T. & Christine S.T. Kansil, 2005, Hukum Perusahaan Indonesia (Aspek Hukum dalam Ekonomi), PT. Pradnya
Paramita, Jakarta
Kartajdoemena, 2002, GATT dan WTO :
Sistem, Forum dan Lembaga Internasional di bidang Perdagangan, UI-Press,
Jakarta
Kesowo, Bambang, 1994, Pengantar Umum
Mengenai Hak Atas Kekayaan Intelektual di Indonesi, Sekretariat Negara
Republik Indonesia
Koentjaraningrat, 1985, Kebudayaan,
Mentalitas, Dan Pembangunan. Gramedia, Jakarta
Manan, Abdul, 2005, Aspek-Aspek
Pengubah Hukum, Prenada Media, Jakarta
Marzuki, Peter Mahmud, 1993, Pengaturan
Hukum Terhadap Perusahaan-Perusahaan Transnasional di Indonesia : Fungsi UU
Paten dalam Pengalihan Teknologi Perusahaan-Perusahaan Transnasional di
Indonesia, PPS Unair, Surabaya
Maulana, Insan Budi, 1997, Sukses
Bisnis Melalui Merek, Paten dan Hak Cipta, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung
Muller, Johannes, 2006, Perkembangan
Masyarakat Lintas Ilmu, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Mustafa, Marni Emmy, 2007, Prinsip-Prinsip
Beracara dalam Penegakan Hukum Paten di Indonesia dikaitkan Dengan TRIPs – WTO,
PT. Alumni, Bandung
Pamuntjak, Amir, 1994, Sistem Paten :
Pedoman Praktik dan Alih Teknologi, Djambatan, Jakarta
Priapanjta, Cita Citrawinda, 2003, Hak
Kekayaan Intelektual : Tantangan Masa Depan, Badan Penerbit Fakultas Hukum
Universitas Indonesia
Purba, Achmat Zen Umar, 2005, Hak Kekayaan Intelektual Pasca TRIPs, PT.
Alumni, Bandung
Purba, Afrillyanna, et. al., 2005, TRIPs – WTO & Hukum HKI
Indonesia, Kajian Perlindungan Hak Cipta Seni Batik Tradisional Indoensia, PT.
Rineka Cipta, Jakarta
Purwaningsih, Endang, 2005, Perkembangan
Hukum Intellectual Property Rights : Kajian Hukum Terhadap Hak Atas Kekayaan
Intelektual dan Kajian Komparatif Hukum Paten,, Ghalia Indonensia, Bogor
Radjagukguk, Erman, 1998, Kontrak
Dagang Internasional Dalam Praktik di Indonesia, ELIPS
Rahardjo, Satjipto, 2000, Ilmu Hukum,
Cetakan ke-5, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung
------------, 2007, Biarkan Hukum
Mengalir : Catatan Kritis tentang Pergulatan Manusia dan Hukum, PT. Kompas
Media Nusantara, Jakarta
Raharjo, Trisno, Kebijakan Legislatif dalam Peraturan Hak Kekayaan
Intelektual dengan Sarana Penal, Pensil Komunika, Yogyakarta
Ramli, Ahmad M., 2001, Perlindungan
Rahasia Dagang dalam UU No. 30/200 dan Perbandingan Dengan Beberapa Negara, CV.
Mandar Maju, Bandung
Riswandi, Budi Agus & M. Syamsudin, 2005, Hak Kekayaan Intelektual dan Budaya Hukum, PT. RajaGrafindo
Persada, Jakarta
Said, M. Mas’ud, 2005, Arah Baru
Otonomi Daerah di Indonesia, UMM Press, Malang
Saidin, 1997, Aspek Hukum Hak
Kekayaan Intelektual (Intelelectual
Property Rights), Cetakan Kedua, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta
Salman, HR. Otje & Anthon F. Susanto, 2004, Teori Hukum : Menginga, Mengumpulkan dan Membuka Kembali, PT.
Refika Aditama, Bandung
Santoso, Budi, 2005, Butir-Butir
Berserakan tentang Hak Atas Kekayaan Intelektual (Desain Industri), Mandar
Maju, Bandung
--------------, 2008, HKI (Hak Kekayaan Intelektual) Pengantar HKI,
Terbitan ke-II, Pustaka Magister, Semarang
Santoso, Edi, et. al, 2003, Otonomi Daerah : Capacity Building dan
Penguatan Demokrasi Lokal, Puskodak
Undip, Semarang
Santoso, Listiyono, et. al.,
2007, Epistimologi Kiri, AR Ruzz
Media, Yogyakarta
Samekto, Adji, 2005, Kapitalisme,
Modernisme & Kerusakan Lingkungan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Sardjono, Agus, 2006, Hak Kekayaan
Intelektual dan Pengetahuan Tradisional, PT. Alumni, Bandung
Seidel, Artikelhur H., et. Al., 1993, What The General Practitioner Should Kwow about Patent Law and
Practice, ALI-ABA, Pensylvania
Simanjuntak, Yoan
Nursari, 2006, Hak Desain Industri (Sebuah Realitas Hukum dan Sosial),
Srikandi, Surabaya
Skousen, Mark, 2005, Sang Maestro : Teori-Teori Ekonomi Modern, Judul
asli : The Making Of Modern economics :
The Lives and Ideas of The Great Thinkers, Penerjemah : Tri Wibowo Budi
Santoso, Prenada Media, Jakarta
Smith, Patrick A., 1996,
The Characteristics and Justification of
The Patent System, Executive summary,
Indonesia Australia Specialized Training Project Intellectual Property Right
Soekanto, Soerjono & Sri Mamudji, 2004, Penelitian Hukum Normatif : Suatu Tinjauan Singkat, Cetakan
Kedelapan, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta
Soekanto, Soerjono, 1984, Pengantar
Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta
Soemitro, Ronny Hanitijo, 1988, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalis Indonesia,
Jakarta
Soenandar, Taryana, 2007, Perlindungan
HAKI (Hak Milik Intelektual) di Negara-negara ASEAN, Sinar Grafika, Jakarta
Subekti, 1984, Hukum Perjanjian, Internusa,
Jakarta
Subroto, Muhammad Ahkam & Suprapedi, 2008, Pengenalan HKI (Hak Kekayaan Intelektual) : Konsep Dasar Kekayaan
Intelektual untuk Penumbuhan Inovasi, PT. Indeks, Jakarta
Sukarmi, 2002, Regulasi Anti Damping
di Bawah Bayang-Bayang Pasar Bebas, Sinar Grafika, Jakarta
Sulistiyono, Adi, 2007, Eksistensi
dan Penyelesaian Sengketa HaKI (Hak Kekayaan Intelektual), UNS Press,
Surakarta
Supomo, 1978, Hubungan Individu
dan Masyarakat dalam Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta
Susanto, Anthon F., 2007, Hukum
dari Consilience menuju paradigma hukum konstruktif-transgresif, PT. Refika
Aditama, Bandung
Suseno, Franz Magnis, 1999, Pemikiran
Karl Marx : dari Sosialisme Utopis Ke Perselisihan Revisionisme, Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta
Susilowati, Etty, 2007, Kontrak
Alih Teknologi pada Industri Manufaktur, GENTA PRESS, Yogyakarta
Sutiyoso, Bambang, 2008, Hukum Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa, Gema Media, Yogyakarta
Syam, Firdaus, 2007, Pemikiran
Politik Barat : Sejarah, Filsafat, Ideologi, dan Pengaruhnya Terhadap Dunia
Ke-3, PT. Bumi Aksara, Jakarta
Turner, Mark & David
Hulme, 1997, Governance, Administration and Development, MacMillan Press Ltd
Usman, Rachmadi, 2003, Hukum Hak Atas
Kekayaan Intelektual : Perlindungan dan Dimensi Hukumnya di Indonesia, PT.
Alumni, Bandung
Warassih, Esmi, 2005, Pranata
Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, PT. Suryandaru Utama, Semarang
Widjaja, Gunawan, 2001, Seri Hukum
Bisnis Lisensi, RajaGrafindo Persada, Jakarta
Widjaya, I. G. Rai, 2005, Perbagai
Peraturan dan Pelaksanaan Undang-Undang di Bidang Hukum Peusahaanhal,
Kesaint Blanc, Bekasi
WIPO Secretariat, 2001, Operational Principles for Intellectual
Property Clauses of Contractual Agreements Concerning Access to Genetic
Resources and Benefit Sharing, WIPO Intergovermental
Committee on Intellectual Property and Genetic Resources, Traditional Knowledge
and Folklore (WIPO/GRTKF/IC/2/3, 10 September 2001.
WIPO,
2001, Intellectual
Property Needs and Expectations of Traditional Knowledge Holders : WIPO Report
on Fact-Finding Missions on Intellectual Property and Traditional Knowledge 1998-1999, Geneva.
WIPO, Report
on Toolkit for Managing Intellectual Property when Documenting Traditional
Knowledge and Generic Resourses (WIPO/GRTKF/IC/5/5, 1 April 2003
Jurnal dan Makalah
Blakeney, Michael, Bioprospecting and Protection of Traditional
Medical Knowledge of Indigenous peoples : An Australian Perspective, Ueropean
Intellectual Property Review, Vol. 19, June 1997,
Marzuki, Peter Mahmud, 1999, Luasnya
Perlindungan Paten, Jurnal Hukum UII, Yogyakarta
Rahardjo, Satjipto, Aspek
Sosio-Kultural dalam Pemajuan HKI, Seminar Nasional Penegakan Hukum HKI dalam
Kontek Perlindungan Ekonomi Usaha Kecil dan Menengah, Semarang 25 November 2005
-------------,Konsep
dan Karakteristik Hukum Progresif,
Makalah Seminar Hukum Progresif I, FH Undip dan PDIH Undip Semarang serta FH
Universitas Trisakti Jakarta, diselanggarakan di Semarang, 15 Desember 2007
Roisah, Kholis, Hak Kekayaan Intelektual
– HKI dan Issu Perlindungan HKI Berbasis TK dan TCe di Indonesia, Makalah
Seminar Internasional “A Comparative
Legal Study on Some specific Issues in Malaysia and Indonesia”, FH Undip, Semarang,
26 Juni 2008
Media Cetak
Sampurno (Kepala Badan POM-RI), Obat dari Bahan Alami Mulai Diteliti, Kompas,
19 September 2002
Ikawati, Yuni, Dari COP-7 CBD :
Membagi Keuntungan Pemanfaatan Hayati dan Hutan Lindung, Kompas, 25
Februari 2004
Soelistyo,
Henry, Potret HaKI di Era Globalisasi, Media
Indonesia, 7 Oktober 2004
Media Internet
Astarini, Dwi Rezki Sri, Hak Kekayaan Intelektual dalam kaitannya dengan
perlindungan Traditional Knowladge,
Folklore dan Genetic Resources, 24 November
2008, http://astarini.multiply. com/journal/item/1, diakses pada tanggal
30 Desember 2008
http://artikel-kesehatan-online.blogspot.com/2008/6/ramuan-madura-khusu
s-bagi-perempuan. diakses pada tanggal 6 September 2008
Perjanjian Internasional
Paris
Convention on The Protection of Property
1883
Berne
Conention for the Protection of Literary and Artistic Works1886
Convention
on The Protection of Performers, Producers of Phonograms and Broadcasting 1961
Convention
Establishing the World Intellectual Property Organization 1967
Genaral
Aggreement on Tariffs and Trade
1947
Patent Cooperation Treaty 1970
Treaty
on Intellctual Property in Respect of Integrated Circuits 1989
The
Charter of The Indigenous and Tribal Peoples of The Tropical Forest 1992
The
Convention on Biological Diversity 1992
Mataatua
Declaration on Cultural and Intellectual Property Rights of Indigenous Peoples
1993
Agreement
on Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights 1994
Peraturan
Perundang-Undangan
Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) 1945
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan United Nations Convention on Biological Diversity (Konvensi
Perserikatan Bangsa-Bangsa Mengenai Keanekaragamaan hayati)
Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing the World Trade
Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Internasional)
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1997
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1989 tentang Paten
Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2000 Tentang Rahasia Dagang
Undang-Undang Nomor 31
Tahun 2000 tentang Desain Industri
Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2000 tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu
Undang-Undang Nomor 14
Tahun 2001 tentang Paten
Undang-Undang Nomor 15
Tahun 2001 tentang Merek
Undang-Undang Nomor 19
Tahun 2002 tentang Hak Cipta
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
Tentang Pemerintahan Daerah
Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah
Peraturan Menteri
Kesehatan RI Nomor : 246/Menkes/Per/V/1990 tentang Izin Usaha Industri Obat
Tradisional dan Pendaftaran Obat Tradisional
Peraturan Kesehatan RI Nomor : 760/MENKES/PER/IX/1992
tentang Fitofarmaka
Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor : 230/Menkes/IX/1976 tentang Wajib
Daftar Simplisia Impor
Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor :
659/MENKES/SK/X/1991 tentang Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik
Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor : 661/Menkes/SK/VII/1994 tentang
Persyaratan Obat Tradisional
Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor : 289/MPP/kep/10/2001
Tentang Ketentuan Standar Pemberian Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP)
Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan RI Nomor :
HK.00.05.41.1384 tentang Kriteria dan Tata Laksana Pendaftaran Obat
Tradisional, Obat Herbal Berstandar dan Fitofarmaka
[1] Agus
Sardjono, 2006, Hak Kekayaan Intelektual
dan Pengetahuan Tradisional, PT. Alumni,
Bandung, hal. 3
[2] Muhamad Djumhana, 2006, Perkembangan Doktrin dan Teori Perlindungan
Hak Kekayaan Intelektual, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 101-102
[3] Kholis Roisah, 2008, Hak Kekayaan Intelektual – HKI dan Issu
Perlindungan HKI Berbasis TK dan TCe di Indonesia, Makalah Seminar
Internasional “A Comparative Legal Study
on Some specific Issues in Malaysia and Indonesia”, FH Undip, Semarang Hal.
9
[4]
Soerjono Soekarto & Sri Mamudji, 2004, Penelitian
Hukum Normatif : Suatu Tinjauan Singkat, Cetakan Kedelapan, PT.
RajaGrafindo Persada, Jakarta, hal. 1.
[5] Soerjono Soekanto, 1984, Pengantar Penelitian Hukum, UI
Press, Jakarta, Hal. 10
[6]
Soerjono Soekarto, Sri Mamudji, op. cit.,
hal. 12
[7] Ibid., hal. 12-13
[8] Ronny Hanitijo Soemitro, 1988, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri,
Ghalis Indonesia, Jakarta, hal. 36
[9] Ibid.
[10]
Formula adalah susunan kualitatif dan kuantitatif bahan berkhasiat dan bahan
tambahan (Pasal 1 angka 17 Peraturan Kepala BPOM tentang Kriteria dan Tata
Laksana Pendaftaran).
[11] Komposisi adalah susunan kualitatif dan kuantitatif bahan berkhasiat
dalam obat tradisional, obat herbal terstandar dan fitofarmaka. Formula adalah
susunan kualitatif dan kuantitatif bahan berkhasiat dan bahan tambahan (Pasal 1
angka 16 Peraturan Kepala BPOM tentang Kriteria dan Tata Laksana Pendaftaran).
[12] Hasil wawancara dengan H.Moh. Sholeh, peramu
dan pemilik Perusahaan Jamu dan Kosmetik ”SUMBER MADU” Bangkalan pada tanggal 27
Januari 2009.
[13]
Hasil wawancara dengan Ny. Hidayati, peramu dan pemilik Perusahaan Jamu ”MADURA
AYU” Sampang pada tanggal 29 Januari 2009.
[14]
Hasil wawancara dengan para pemilik dan peramu Ramuan Asli Madura di empat
Kebupaten di Madura, yakni Kabupaten Bangkalan, Kabupaten Sampang, Kabupaten
Pamekasan dan Kabupaten Sumenep (2009).
[16] Penjelasan Pasal 5 UU Paten
[17] Klaim adalah bagian dari permohonan Pendaftaran Paten yang
menggambarkan inti invensi yang dimintakan perlindungan hukum yang harus
diuraikan secara jelas dan harus didukung dengan deskripsi Penjelasan Pasal 24
ayat (2) huruf h UU Paten.
[18] Konsep perlindungan Paten
terhadap individual rights ini sesuai
dengan ketentuan d dalam konsideran paragraf keempat TRIPs Agreement, yang
menyatakan bahwa IPR adalah untuk melindungi terhdap hak-hak pribadi.
[19] Yang dimaksud dokumen Paten adalah
dokumen permohonan yang sudah diberi paten dan telah diumumkan, dokumen
tersebut diperlukan untuk mempermudah dan mempercepat penilaian terhadap sifat
kebaruan (novelty) dan langkah inventif dari Invensi (Penjelasan Pasal 28 ayat
ayat (2) huruf b UU Paten).
[20] Rahmi
Jened, op. cit., hal. 119
[21] Agus
Sardjono, op. cit., hal. 197
[22] Farmakologi merupakan ilmu yang sangat luas cakupannya. Namun untuk
seorang dokter, ilmu ini dibatasi tujuannya yaitu agar dapat menggunakan obat
untuk maksud pencegahan, diagnosis, dan pengobatan penyakit. Selain itu, agar
mengerti penggunaan obat yang dapat mengakibatkan berbagai gejala penyakait.
Dahulu farmakologi mengcakup pengetahuan tentang sejarah, sumber, sifat kimia
dan fisika, komposisi, efek fisiologi dan biokimia, mikanisme kerja, absortsi,
distribusi, biotransformasi, ekspresi dan penggunaan obat. Namun dengan
berkembangnya pengetahuan, beberaa bidang ilmu tersebut telah berkembang
menjadi ilmu tersendiri, di antaranya Farmakognosi, Biofarmasi,
Farmakokinetika, Farmakodinamika, Toksikologi, Farmakoterapi. Sedangkan cabang
ilmu farmakologi yang mempelajari sifat-sifat tumbuhan dan bahan lain yang
merupakan sumber obat disebut Farmakognosi (Bagian Formakologi, Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, 2005,
Farmakologi dan Terapi, Edisi ke-4, Cet. 5, Gaya Baru, Jakarta, hal.1).
[23] Bunyi
Pasal 10 UU Hak Cipta adalah : (1) Negara memegang Hak Cipta atas karya
peninggalan prasejarah, sejarah, dan benda budaya nasional lainnya. (2) Negara
memegang Hak Cipta atas folklor dan hasil kebudayaan rakyat yang menjadi
milik bersama, seperti cerita, hikayat, dongeng, legenda, babad, lagu,
kerajinan tangan, koreografi, tarian, kaligrafi, dan karya seni lainnya. (3)
Untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaan tersebut pada ayat (2), orang yang
bukan warga negara Indonesia harus terlebih dahulu mendapat izin dari instansi
yang terkait dalam masalah tersebut.
[24] Folklor
dimaksudkan sebagai sekumpulan ciptaan tradisional,
baik yang dibuat oleh kelompok maupun perorangan dalam masyarakat, yang
menunjukkan identitas sosial dan budayanya berdasarkan standar dan nilai-nilai
yang diucapkan atau diikuti secara turun temurun, termasuk: a. cerita rakyat,
puisi rakyat; b. lagu-lagu rakyat dan musik instrumen tradisional; c.
tari-tarian rakyat, permainan tradisional; d. hasil seni antara lain berupa:
lukisan, gambar, ukiran-ukiran, pahatan, mosaik, perhiasan, kerajinan tangan,
pakaian, instrumen musik dan tenun tradisional (Penjelasan Pasal 10 ayat (2) UU
Hak Cipta).
[25] Di dalam Pasal 3 ayat (2) Rancangan
Peraturan Pemerintah tentang Hak Cipta atas Folklor yang Dipegang oleh Negara
dikatakan bahwa yang dimaksud dengan “instansi yang terkait” dalam Pasal 10
ayat (2) UU Hak Cipta adalah Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual.
[26]
Penerapan pengalihan collective ownership
kepada negara sebagai pemegang hak atas ekspresi folklor tersebut sesuai dengan
konsep yang diberikan di Dalam WIPO Report
on Fact Finding Mission on Intellectual Property and Traditional Knowledge (1998-1999), WIPO sebagai salah
organisasi Internasional di bidang IPR telah memberikan ketentuan bahwa negara
dapat menjadi pemegang hak atas TK (Afrillyanna Purba, et. al., op. cit., hal. 41).
[27] Pengaturan mengenai negara sebagai
pemegang hak atas TK bidang obat tradisional melalui perubahan atas UU Paten
sebenarnya bukanlah jalan satu-satunya, tetapi masih terdapat jalan yang lebih
mudah dan mempunyai landasan hukum yang jelas di dalam UU Paten, yaitu melalui
pembentukan Peraturan Pemerintah. Landasar hukum atas pembentukan Peraturan
Pemerintah itu di dasarkan pada ketentuan dalam Pasal 66 ayat (1) huruf e UU
Paten yang menyebutkan bahwa ”pengalihan paten itu dapat dilakukan karena sebab
lain yang dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan”. Sedangkan salah satu
yang dimaksud dengan”sebab lain yang dibenarkan oleh peraturan
perundang-undangan” di dalam penjelasan Pasal 66 ayat (1) UU Paten adalah
”........peralihan paten didasarkan atas peraturan di bawah undang-undang,
peraturan tersebut tidak boleh bertentangan dengan undang-undang ini”. Pengaturan
khusus melalui Peraturan Pemerintah itu yang jelas tidak bertentangan dengan UU
Paten karena UU Paten memang tidak mengaturnya. Pengalihan hak kepada negara
atas TK bidang obat tradisional dapat dilakukan karena tidak perlu menyertakan
dokumen asli paten yang memenag tidak ada dalam TK bidang obat tradisional.
Dengan demikian, pengalihan itu cukup dengan menentukan dalam rumusan Pasalnya
disertai dengan ketentuan mengenai prosedur perizinan atas pemanfaatan TK
bidang obat tradisional.
[28]
Persoalan krusial mengenai pengaturan negara sebagai pemegang hak atas TK
bidang obat tradisional sebenarnya bukan hanya terkait dengan persyaratan dan
prosedur perizinan. Akan tetapi, juga mengenai adanya pihak yang berhak
mewakili dalam forum penyelesaian sengketa terkait kepemilikan dan pemanfaatan
TK bidang obat Tradisional.
[29].
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Agus Sardjono bahwa sampai
sekarang belum ada permohonan paten dari dalam negeri atas suatu invensi yang
dihasilkan dari proses pengembangan atas TK bidang obat tradisional melalui
kegiatan R & D. Jamu yang diproduksi oleh PT. Sido Muncul diperoleh dari resep
atau ramuan jamu yang sudah diketahui oleh masyarakat umum. Begitu pula halnya
dipabrik Jamu Jago. Jamu yang dibuat dalam perusahaan Jamu Jago tersebut masih
didasarkan pada ramuan yang dibuat oleh nenek moyangnya (kakeknya Jaya Suprana)
pendiri perusahaan itu (Agus Sardjono, 2006, op. cit., hal. 200). Sedangkan menurut Mantan Direktur Jenderal
BPOM, Sampurno bahwa sampai saat sekarang hanya terdapat satu penelitian
terhadap obat tradisional yang tengah dalam proses mendapatkan hak paten,
yaitu penelitian terhadap tanaman kladi
tikus yang berkhasiat sebagai obat anti kanker (http://pdpersi.co.id/show-detailnews&kode-247&tbl-cakrawala, diakses pada tanggal 27 Februari 2009).
[30] Di dalam UU Paten sebenarnya sudah
terdapat rumusan Pasal yang dapat dijadikan dasar yuridis mengenai pengaturan
Persyaratan Dokumen Tambahan dalam Peraturan Pemerintah itu, yaitu pada Pasal
24 ayat (2) UU Paten yang berbunyi ”Ketentuan lebih lanjut tentang cara
pengajuan permohonan diatur dengan Peraturan Pemerintah”. Akan tetapi, anehnya
sejak diberlakukannya UU Paten tanggal 1 Agustus 2001 sampai sekarang,
Peraturan Pemerintah yang dimaksud belum pernah dilakukan perubahan, yaitu
tetap menggunakan Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 1991 tentang Tata Cara
Permintaan Paten. Sehingga Peraturan Pemerintah tersebut tidak dapat mengatur
dan melindungi kepentingan dari masyarakat lokal. Dengan demikian, untuk
mengatur masalah persyaratan Dokumen Tambahan dalam permohonan pendaftaran
paten itu sebenarnya tidak usah dengan merubah UU Paten atau dengan membuat
undang-undang sui generis tersendiri,
tetapi cukup dengan membuat Peraturan Pemerintah yang baru tentang cara
pengajuan permohonan paten.
[31] Prinsip
ini tidak menghendaki perlakukan yang berbeda tehadap perlindungan paten dari
warga negeranya sendiri dengan warga negara asing. Pengecualian hanya
dimungkinkan sepanjang hal itu telah diatur dalam Paris Convention. Dalam article
3 Paris Convention bila dikontruksikan secara a contrario, maka perlindungan yang berbeda dapat diterapkan kepada
invensi yang negaranya tidak menjadi peserta dalam Paris Convention.
[32] Prinsip
ini menghendaki agar setiap negara peserta tidak memberikan perlakuan yang
diskriminatif. Bila suatu negara peserta memberikan perlakukan khusus kepada
suatu negara tertentu, maka perlakukan yang sama dengan serta merta juga harus
diberikan kepada negara-negara peserta konvensi lainnya. Terkadang prinsip ini
juga disebut prinsip non dikriminatif.
[33] Lihat Pasal 14 ayat (2) UU Pemda
[34] Achmad
Zen Umar Purba, op. cit., hal. 26
[35] Dalam article 29 TRIPs Agreement itu dikatakan bahwa "Anggota harus
mewajibkan pemohon paten untuk membeberkan penemuannya dengan cara yang cukup
jelas dan lengkap agar penemuan tersebut dapat dilaksanakan oleh orang yang
ahli di bidang yang bersangkutan, dan dapat mewajibkan pemohon untuk
memberitahukan cara yang terbaik untuk melaksanakan penemuan tersebut yang
diketahuinya pada tanggal permohonan diajukan atau, dalam hal diajukan hak
proritas, pada tanggal prioritas dari permohonan”.
[36] Kontrak
menurut Subekti adalalah perjanjian dalam arti sempit dan perjanjian tersebut
dibuat secara tertulis (Subekti, 1984, Hukum
Perjanjian, Internusa, Jakarta, hal. 1). Kontrak (overeenskomst) di Indonesia berpedoman pada Pasal 1233 KUH Perdata
tentang perikatan, yaitu "Tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena
persetujuan, baik karena undang-undang“. Sedangkan definisi perjanjjan terdapat
dalam psal1313 KUH Perdata, yaitu "Persetujuan adalah suatu perbuatan
dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau
lebih lainnya“. Secara umum yan menjadi dasar hukum bagi berlakunya kontrak di
Indonesia adalah asas kebebasan berkontrak s ebagaimana terdapat di dalam Pasal
1338 KUH Perdata, yaitu "Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku
sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya“. Untuk suatu kontrak itu
harus memenuhi syarat sahnya kontra sebagaimana diatur di dalam Pasal 1320 KUH
Perdata, yaitu "Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat :
sepakat mereka yang mengikatkan dirinya, kecakapan untuk membuat suatu
perjanjian, suatu hal tertentu, dan suatu sebab yang halal“. Terdapat tiga
mekanisme dalam pembuatan kontrak, pertama tahap pra kontraktual yaitu tahap
penawaran dan penerimaan (negotiation).
Kedua, tahap kontraktual yaitu berisi substansi dari kontrak yang
disepakati oleh para pihak. Ketiga, tahap post kontraktual yaitu tahap
pelaksanaan dari kesepakatan kontrak (Etty Susilowati, op. cit., hal 18)
[37] Agus Sardjono, op. cit., hal. 263, dikutip dari Steven M. Rubin & Stanwood C.
Fish, Biodiversity Prospecting : Using
Innovative Contractual Provitions for Foster Ethnobotanical Knowledge,
Technology and Conservation, Colorado Journal of International and
Environment Law and Policy, Vol. 5, 1994, p. 37 ). Maksud dari bioprospecting di
sini adalah kegiatan pengembangan TK bidang obat tradisional melalui research and development (R & D)
berdasarkan sebuah kontrak dengan pemberian keuntungan (benefit sharing) terhadap masyarakat lokal (disarikan dari Muhammad
Ahkam Subroto & Suprapedi, op. cit., hal.
107). Jika suatu bioprospecting contract
dibuat antara Pemerintah Indonesia selaku provider
dengan pihak asing sebagai recipient,
maka bioprospecting contract itu
dikategorikan kontrak internasional. Menurut Sudargo Gautama bahwa kontrak
internasional adalah kontrak nasional yang terdapat unsur luar negerinya (foreign elemnet)m karena bidang hukum
kontrak ini pada hakikatnya adalah tunduk pada hukum perdata nasional. Kontrak
internasional ini hanya terbatas dalam bidang komersial atau perniagaan (Huala
Adolf, 2008, Dasar-dasar Hukum Kontrak
Internasional, PT. Refika Aditama, Bandung, hal. 3-7). Menurut Erman
Radjagukguk bahwa terdapat beberapa prinsip dalam kontrak internasional, yaitu
penggunaan istilah, sahnya suatu kontrak, prinsip penawaran atau penerimaan
(persesuaian kehendak), iktikat baik, peralihan resiko, pembayaran, ganti
kerugian, keadaan darurat (force majeur),
wanprestasi, perubahan kontrak, pemutusan kontrak, pilihan hukum, dan
penyelesaian sengketa (Erman Radjagukguk, 1998, Kontrak Dagang Internasional Dalam Praktik di Indonesia, ELIPS,
hal. Hal. 123-129).
[38] WIPO Secretariat, Operational Principles for Intellectual
Property Clauses of Contractual Agreements Concerning Access to Genetic
Resources and Benefit Sharing, WIPO Intergovermental
Committee on Intellectual Property and Genetic Resources, Traditional Knowledge
and Folklore (WIPO/GRTKF/IC/2/3, 10 September 2001, p. 22-24).
[39]
Di dalam alih teknologi (Technology
transfer) ini terdapat empat tahapan yang harus menjadi sasaran kebijakan
dalam pelaksanaan pemanfaatan TK bidang obat tradisional. Sasaran kebijakan
alih teknologi (Technology transfer)
ini dimaksudkan untuk lebih menfokuskan perolehan teknologi bagi pengembangan
TK bidang obat tradisional tersebut oleh masyarakat lokal. Di antara keempat
tahapan tersebut adalah Pertama, tahap
penggunaan teknologi yang telah ada dari recipient.
Kedua, tahap transportasi atau integrasi berbagai teknologi yang telah ada
untuk melakukan research and devolepment sendiri.
Ketiga, tahap pengembangan teknologi itu sendiri untuk menciptakan teknologi
baru dalam kegiatan research and
devolepment. Keempat, tahap pelaksanaan secara besar-besaran penelitian
dasar untuk lebih mengembangkan invensi di bidang obat tradisional dari
teknologi baru tersebut ((B.J. Habibie, op.
cit., hal. 44).
[41]
Desentralisasi adalah setiap bentuk atau tindakan memencarkan kekuasaan atau
wewenang dari suatu organisasi, jabatan, atau pejabat. Sedangkan Pemencaran wewenang
pemerintahan dalam penyelenggraan suatu negara ke dalam satuan-satuan
teritotrial yang lebih kecil dapat diwujudkan dalam bentuk dekonsentrasi
territorial, satuan otonomi territorial, atau federasi. Dengan demikian,
dekonsentrasi, otonomi dan federasi merupakan implikasi dari penerapan
desentralisasi (Edi Santoso, et. al, 2003, Otonomi Daerah
: Capacity Building dan Penguatan Demokrasi Lokal, Puskodak Undip, Semarang, hlm. 104 – 105). Di dalam teori pemerintahan, desentralisasi itu sebenarnya
terdapat empat bentuk. Pertama, dekonsentrasi, yaitu redistribusi tanggungjawab
administratif dalam hierarki pemerintah pusat melalui pengalihan beban kerja
dari pemerintah pusat ke pejabatnya sendiri di daerah. Kedua, delegasi pada
organisasi parastatal, yaitu pelimpahan pembuatan keputusan dan managemen untuk
kepentingan khusus di bawah tanggung jawab pemerintah pusat. Ketiga, devolusi,
yaitu kemampuan unit pemerintah daerah yang mandiri, independen dan otonom,
dimana pemerintah pusat melepaskan fungsi-fungsi tertentu serta pengawasannya.
Dan keempat, transfer of Function
merupakan kelanjutan dari devolusi, yaitu pemerintah memberikan dan mentransfer
fungsi dan tugas-tugasnya kepada masyarakat dan lembaga non pemerintah lainnya
(Ibid., hal 134).
[42] Daerah otonom yang dimaksud dalam UU Pemda adalah
menunjuk kepada daerah provinsi, daerah kabupaten/kota, dan desa. Hal
ini sebagaimana pengertian daerah otonom di dalam Pasal 1 angka 6 UU Pemda,
yaitu ”Daerah
otonom, selanjutnya disebut daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang
mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan
pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri
berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik
Indonesia”.
[43] Agus Sardjono, op. cit., hal. 285286
[44] WIPO, Report on Toolkit for Managing Intellectual Property when Documenting
Traditional Knowledge and Generic Resourses (WIPO/GRTKF/IC/5/5, 1 April
2003.
[45] Stephen Adams & Victoria Henson
Apollonio, Defensive Publishing : A
Strategy for Maintaining Intellectual Property as Public Goods, (WIPO/GRTKF/5/6/
May 14, 2003), p. 9
[46] Lihat
Pasal 14 ayat (2) UU Pemda
[47] Melalui
perubahan UU Paten atau membuat undang-undang sui generis maupun cukup dengan dibentuk Peraturan Pemerintah.
[48] Adanya tanggung
jawab dokumentasi oleh Pemerintah Daerah ini sesuai dengan konsep
penyelenggaraan otonomi daerah, bahwa Pemerintah Daerah mempunyai kewenangan
khusus untuk mengurus dan mengembangkan potensi daerah yang secara nyata ada
untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan,
dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan (Lihat Pasal 13 dan Pasal 14 U Pemda).
[49] Beberapa bentuk benefit sharing dapat dilihat dalam kasus berikut : pertama, The Regional
Research Laboratory (RRL) dan The
Tropical Botanical Garden and Research Institute (TBGRI) di India melakukan
analisis terhadap senyawa-senyawa kimia yang ada dalam buah Thricopus zeylanicus yang oleh suku kani
di India ditemukan sifat-sifat anti lelah. Dalam penelitian RRL dan TBGRI dapat
dibuktikan klaim yang dibuat suku kani dan kemudian dikembangkan sebagai obat
anti letih yang dinamakan Jeevani. Invensi ini telah dipatenkan oleh TBGRI dan
dilisensikan kepada sebuah perusahaan farmasi yang memproduksinya. Dalam
kontrak ditentukan bah benefit sharing
sebagai berikut : 50% dari nilai lisensi dan 2% royalti dari harga jual pabrik
akan diberikan terhadap keluarga-keluarga suku bani. Selain itu, TBGRI telah
mengatur penanaman Thricopus zeylanicus
oleh 50 kepala keluarga suku bani dengan jaminan pembelian dari perusahaan.
Kedua, sebuah perusahaan farmasi, Shaman Pharmaceuticals dari AS yang
memfokuskan pada isolasi senyawa-senyawa bioaktif dari tanaman tropis yang
telah memiliki sejarah penggunaan sebagai obat tradisional. Pada tahun 1990,
dalam waktu 24 bulan Shaman telah berhasil mendapatkan dua produk untuk
memasuki tahap uji klinis. Berdasarkan invensi ini Shaman telah mematenkan
senyawa anti diabetes. Sebagai imbalan, Shaman telah memberikan kompensasi
jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang kepada masyarakat lokal di
Ekuador. Kompensasi jangka pendek berupa pembangunan landasan terbang darurat
di Ekuador, mengorganisir lokakarya kesehatan masyarakat dan konservasi hutan,
menawarkan pelayanan kesehatan langsung
kepada masyarakat lokal, dan penyediaan sistem air minum bersih kepada
masyarakat lokal. Kompensasi jangka menengah berupa pemberian beasiswa kepada
para ilmuwan setempat yang bekerja di bidang obat tradisional dan pengembangan
infrastruktur penelitian di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Untuk
kompensasi jangka panjang berupa pembentukan sebuah organisasi nirlaba yang
disebut Healing Forest Conservency
yang didedikasikan untuk konservasi keanekaragamaan hayati dan kultural serta
mendukung pengembangan dan manajemen sumber daya alam dan biokultur yang
merupakan bagian dari warisan dari masyarakat lokal (Muhammad Ahkam Subroto
& Suprepedi, op. cit., hal.
107-109).
[50]
WIPO,
Intellectual Property Needs and Expectations of Traditional Knowledge Holders :
WIPO Report on Fact-Finding Missions on Intellectual Property and Traditional
Knowledge 1998-1999, Geneva, 2001 ).
[51] Dalam Pasal 6 ayat (2) Anggaran Dasar
PJTM Arek Lancor disebutkan mengenai tujuan pendiriannya, yaitu : a.
meningkatkan dan memelihara ikatan silaturahim yang erat di antara pengusaha
jamu tradisional Madura. b. meningkatkan kualitas SDM dan produk para pengusaha
jamu tradisional Madura. c. meningkatkan kemandirian dan daya saing pengusaha jamu
tradisional Madura.