Rabu, 21 Maret 2012

ETNOFARMAKOGNOSI, CIKAL BAKAL PENEMUAN OBAT BARU

ETNOFARMAKOGNOSI, CIKAL BAKAL PENEMUAN OBAT BARU
Oleh : Moelyono  MW

Etnofarmakognosi adalah bagian dari ilmu farmasi yang mempelajari penggunaan obat dan cara pengobatan yang dilakukan oleh etnik atau suku bangsa tertentu. Ruang lingkup etnofarmakognosi meliputi obat   serta cara pengobatan menggunakan bahan alam.   Masyarakat etnik suatu daerah mempunyai kebudayaan dan kearifan lokal yang khas sesuai dengan daerahnya masing-masing. Hal tersebut berdampak pada pengetahuan  obat dan pengobatan tradisionalnya. Berbagai etnik atau suku bangsa di Indonesia mempunyai pengalaman empiris masing-masing dalam mengatasi gangguan kesehatan.   Pengetahuan empirik etnis  berbeda pada setiap wilayah  tergantung pada sifat khas  dan kearifan budaya (cultural wisdom) masing-masing. Etnofarmakognosi merupakan bagian dari ilmu pengobatan masyarakat tradisional yang seringkali terbukti secara empiris dan setelah melalui pembuktian-pembuktian ilmiah dapat ditemukan atau dikembangkan senyawa obat baru.

Masyarakat etnik tradisional umumnya mempunyai budaya kehidupan yang juga tradisional, termasuk dalam hal pemeliharaan kesehatan. Budaya tradisional yang kuat menyebabkan pengetahuan obat dan cara pengobatan juga diperoleh secara turun temurun, terbatas dalam pengetahuan jenis penyakit dan cara penanggulangannya. Kehidupan yang menyatu dengan alam dan keyakinan bahwa dirinya merupakan bagian dari alam menumbuhkan kesadaran bahwa alam adalah penyedia obat bagi dirinya dan masyarakatnya. Mulai dari sinilah berkembang pengertian obat tradisional. Obat tradisional Indonesia merupakan bagian dari sosio budaya bangsa yang menjadi salah satu aset kekayaan bangsa Indonesia. Bagian integral sosio budaya bangsa mempunyai makna bahwa keberadaan dan eksistensi obat tradisional dalam era modernisasi di segala bidang, khususnya dalam bidang kesehatan, menjadi tanggung jawab seluruh komponen bangsa. Kemajuan ilmu dan teknologi yang merambah hampir semua bidang ilmu, termasuk teknologi kesehatan pada umumnya, serta teknologi farmasi pada khususnya, menyebabkan pergeseran pola konsumsi dan penggunaan obat-obatan. Modernisasi menyebabkan perubahan perilaku dan pola hidup, yang  berdampak pada penggunaan dan konsumsi obat. Obat tradisional Indonesia yang pada awalnya merupakan produk obat   kebanggaan bangsa, perlahan terkikis oleh budaya teknologi yang menjadi tumpuan pola pikir masyarakat. Perkembangan ilmu kimia organik sintetis menghasilkan  molekul kimia organik berkhasiat obat dengan jumlah yang fantastis. Industri kimia organik sintetis memacu industri farmasi menghasilkan obat-obat yang berbahan baku senyawa sintetis. Industri obat berbahan kimia sintetis menyebabkan tumbuh kembang industri farmasi yang luar biasa, namun di sisi lain, industri obat tradisional yang berbahan baku herbal terancam kelangsungan hidupnya. Persaingan tidak sehat mulai mucul. Industri obat berbahan kimia sintetis yang dipelopori oleh industri obat negara-negara maju melontarkan isue tentang obat tradisional  yang belum teruji khasiatnya secara klinik. Pola pikir masyarakat yang mulai beranjak modern menerima isue tersebut sebagai sesuatu yang benar, sehingga perlahan penggunaan dan segmen pengguna obat tradisional mulai berkurang. Obat tradisional mengalami kemunduran,  obat berbahan kimia sintetis mulai menguasai pasaran. Hukum ekonomi mulai berlaku, permintaan yang tinggi menyebabkan harga obat berbahan kimia sintetis menjadi tidak terjangkau masyarakat tingkat menengah ke bawah, sementara obat tradisional telah ditinggalkan karena krisis kepercayaan. Indonesia, sebagai negara dengan mega diversivitas flora yang konon menduduki tingkat tertinggi kedua setelah Brazilia, seharusnya mempunyai pemikiran untuk mengembangkan kekayaan yang tidak  terhingga nilainya tersebut. Industri obat berbahan kimia sintetis boleh saja maju pesat, tapi hal itu tidaklah harus berarti bahwa obat tradisional Indonesia hanya tinggal sejarah atau cerita saja. Indonesia adalah negara yang mempunyai potensi kekayaan alam dan budaya sangat bervariasi, yang bila berkembang sinergis akan menghasilkan sesuatu yang berarti bagi bangsa pada khususnya, dan bagi dunia pada umumnya.

Obat tradisional seringkali merupakan cikal bakal penemuan obat baru. Sejarah membuktikan bahwa Cinchonine, suatu alkaloid yang menjadi obat terpilih untuk mengatasi malaria, merupakan  metabolit sekunder yang berasal dari kulit batang pohon kina (Cinchona succirubra L., C. calisaya L, atau C. ledgeriana L.). Penelitian yang mengarah pada penemuan alkaloid kina sebagai obat malaria bukanlah karena kebetulan belaka, tetapi dilandasi oleh penggunaan tradisional kulit kina untuk mengatasi gangguan demam oleh masyarakat di berbagai daerah endemik malaria.

Dalam pencarian dan pengembangan obat baru, pengetahuan etnofarmakognosi banyak memberi arahan pendahuluan. Sebagai ilustrasi, untuk mengatasi gangguan diare, hampir seluruh komunitas etnik di Indonesia, terutama di Indonesia bagian Barat, menggunakan godogan pucuk daun jambu biji (Psidium guajava L.). Penelitian farmakologi yang telah banyak dilakukan memberi arahan bahwa pucuk daun jambu biji dapat digunakan untuk mengatasi gangguan diare karena senyawa kimia golongan tanin yang dikandungnya.  Pengetahuan   tersebut memberikan kemungkinan dilakukannya pencarian dan pengembangan obat baru dengan  aktivitas antidiare yang berasal dari tumbuhan. Penelitian untuk pengembangan obat tradisional untuk mengatasi gangguan diare berdasarkan penggunaan etnofarmakognosi tersebut kini telah banyak menghasilkan berbagai formula obat herbal antidiare yang harganya dapat dijangkau masyarakat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar